Senin, 15 Desember 2014

Denyut Nadi Pendidikan Pesantren


Pesantren adalah fenomena sosial-kultural terunik, pada dataran historis pesantren merupakan sistem pendidikan tertua khas negara kita, yang eksistensinya tidak diragukan  telah teruji oleh sejarah dan berlangsung hingga era kini. Bahkan bukanlah hal yang berlebihan bila dikatakan bahwa pesantren telah menjadi satu wujud dari entitas budaya indonesia. Yang dengan sendirinya menjalani proses sosialisasi yang relatif insentif. Indikasinya adalah wujud entitas budaya ini telah diakui dan diterima kehadirannya. Pertanyaan yang muncul adalah faktor apa yang menarik sehingga pesantren begitu eksis?
Untuk menjawab pertanyaan singkat diatas, tampaknya tidaklah begitu mudah. Karena untuk melacak dan menemukan jawabanya diperlukan observasi yang serius dan mendalam, salah satu keunikan pesantren yang penting untuk dicatat adalah; sosoknya yang kompleks dan multidimensi. dan tidak salah jika pesantren merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah kering sepanjang zaman.
Untuk mempertahankan eksistensinya, Setidaknya pesantren harus mampu mempertahankan pola-pola yang selama ini dikembangkan dengan tidak mengabaikan begitu saja kekinian yang semakin menggelobal (al-muhafadzatu a’la qodimi as-shalih wal ahdu bil-jadidi al-aslah) setidaknya ada dua aspek yang perlu dipertahankan yaitu; pertama, terkait dengan stuktur, metode, dan bahkan literatur yang bersifat tradisional. Dengan ciri utamanya yaitu stressing pengajaran yang lebih kepada pemahaman tekstual (harfiyah). kedua, terkait dengan pemeliharaan sub-kultural (tata nilai) yang berdiri di atas pondasi ukhrawi yang terimplementasikan dalam bentuk ketundukan dan ketaatan kepada para ulama, para kiai, para  ustadz dengan mengutamakan ibadah, hanya demi untuk memperoleh tujuan hakiki dan mencapai keluhuran jiwa.
Membincangkan berbagai hal yang terkait dengan pendidikan dewasa ini memang seakan tak ada habisnya. Hingga kini pendidikan kita  masih menjadi sorotan publik, pendidikan yang diharapkan mampu menopang ketidakberdayaan masyarakat agar tegak, tumbuh dan berkembang menjadi masyarakat terdepan dan sejahtera. Ternyata pendidikan kita masih berkutat pada permasalahan-permasalahan internal yang menyelimuti. Jangankan untuk mengangkat masyarakat, mengangkat dirinya sendiri  masih susah-payah. Begitu banyak problem didalamnya, mulai dari sarana pendidikan, mutu pendidikan, kesejahteraan pendidik, kualitas pembelajaran, biaya yang tak memadai, hingga mutu lulusan yang mana lebih menekankan pada aspek-aspek kognitif saja.
Cobalah kita mengintip sejenak prilaku masyarakat sekitar kita, begitu banyak prilaku yang tidak lagi menghargai Norma Susila, Norma Agama, tawuran antar pelajar, subsidi jawaban ketika UN, bobroknya akhlak peserta didik bahkan para pendidiknya, hal itu seiring banyaknya orang-orang berpendidikan yang mendekam dibalik jeruji penjara baik karena kasus KKN, kekerasan, pelecehan seksual dan kasus-kasus lainnya. Hal tersebut lebih menegaskan agar pendidikan di negeri ini perlu mengembangkan dan menggalakkan nilai-nilai (pendidikan krakter) yang dapat menjadi pedoman hidup masyarakat kita.
Pesantren sebagai salah satu beberapa model lembaga pendidikan yang ada, memegang peran yang sangat penting dalam mengembangkan nilai-nilai tersebut. dengan konsep pendidikannya yang on time ‘24 jam’ pesantren  dapat membekali pribadi-pribadi anak didiknya (santri) dengan sikap-sikap rajin, jujur, kreatif, inovatif, bertanggung jawab, bekerja keras serta nilai-nilai terpuji lainnya. Sehingga akhirnya dapat menelorkan insan yang berkepribadian muslim yang tangguh, harmonis, mampu mengatur kehidupan pribadinya, mengatasi masalah-masalah yang timbul, mencukupi kebutuhan serta mengendalikan dan mengarahkan tujuan hidupnya.
Pembentukan dan pendidikan krakter disini tidak dapat hanya semata-mata melalui materi pelajaran dibangku sokolah/ madrasah  melainkan penanaman nilai-nilai itu harus diagendakan dalam aktifitas sosial sehari-hari. Dalam hal ini para santri mendapat bimbingan dan keteladan langsung oleh para ustadznya. Selanjutnya apa yang dilakukan dipesantren tidak hanya menekankan pentingnya pengaplikasian nilai-nilai itu saja. melainkan, memberikan contoh langsung dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan Pesantren.
Walhasil, menurut penulis bahwa, model pendidikan pesantrenlah yang lebih terbukti keberhasilannya dalam mencetak santri yang shalih dan berakhlak mulia. Meskipun kadang-kadang masih berupa benih-benih potensi. Dan tentunya penulis tidak menafikan kelemahan dan kekurangan yang ada. Namun kelebihan-kelebihan tersebut diharapkan dapat menutupi kelemahan dan kekurangan pendidikan yang ada. (pernah dimuat dihttp://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,55939-lang,id-c,kolom-t,Pendidikan+Pesantren+dalam+Pembentukan+Karakter-.phpx )
         

*Muhammad Ali Ridho, Alumni pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan Tahun 2011, saat ini tengah menempuh studi S1 Di Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy), Tebuireng Jombang.

Pornografi dalam Sketsa Syariah Islam

                        

 Akhir-akhir ini banyak berita kriminal yang di beritakan oleh berbagai media tentang pelecehan seksual, tak hanya orang-orang dewasa saja, bahkan anak remaja dan anak dibawah umur telah banyak yang terkait kasus pelecehan sosial itu. diantara penyebabnya begitu mudahnya video dan gambar porno didapatkan. kemudahan teknologi saat ini banyak disalah gunakan oleh para remaja, akses internet bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun. tak hanya melalui laptop, sekarang aplikasi Hp sudah semakin canggih dilengkapi dengan koneksi internet, bluetooth, kamera dll, sehingga video dan gambar porno dengan mudah diakses. selanjutnya bagaimana syariah islam menyikapi itu semua ?
Islam menghendaki prilaku manusia terpuji demi pencapaian kebahagiaan menyeluruh, di dunia dan di  akhirat menurut pandangan Tuhan. Karena itu, Tuhanlah yang  Maha Menentukan  baik dan buruknya suatu prilaku, di samping peran akal sehat, dalam hal ini sungguh sangat aktif. Perbuatan manusia adalah kreasi manusia itu sendiri dengan memanfaatkan servis awal dari Tuhan. Kreasi itu tegasnya lahir dari kekuatan alami (pemberian Tuhan) yang dikembangkan oleh manusia sebagai eksploiter.
Oleh karena itu, dalam memandang kreasi manusia, kalangan ilmuwan terbelah menjadi dua madzhab. Madzhab pertama, berpendapat bahwa segala kreasi manusia (meliputi aksi dan seni) adalah murni sebagai hak asasinya yang bebas nilai, sehingga seseorang bebas melakukan perannya  tanpa ada pengaturan mengikat dan tentu saja sepanjang  tidak mengganggu hak orang lain. Madzhab ini biasa disebut dengan liberalis yang disukai oleh kaum bebas nilai dari kalangan ilmuwan, budayawan, seniman muda yang kurang mempertimbangkan efek moral. Madzhab kedua, memandang kreasi manusia sebagai hal yang tidak bebas dan mesti  didialogkan dengan nilai, baik agama, susila, etika dan norma-norma lain. Madzhab ini lazim disebut dengan moralis yang biasanya dianut oleh kalangan agamawan dan penjunjung tinggi nilai moral. Dua pandangan ini berfungsi kiranya sebagai frame pemikiran dan pandangan dasar tentang pornografi dalam konteknya sebagai obyek kajian.
Porno, umumnya dikonotasikan sebagai negatif menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan seksual-biologis yang merangsang birahi  seseorang. Porno ada dalam berbagai bentuk meliputi ucapan (Pornoorasi), tindakan (Pornoaksi), gambar (Pornografi) dan lain-lain.
Ekspresi seksual-biologis tidak secara otomatis mesti berkonotasi negatif. Karena itu, untuk disebut “porno” (negatif) sangat terkait dengan situasi dan kondisi. Porno sangat berkaitan dengan ruang dan waktu untuk selanjutnya diberi nilai atau hukum buatnya. Seseorang telanjang bulat di kamar tidurnya sendiri yang tertutup atau telanjang karena keterpaksaan semisal untuk kepentingan medis, persalinan dll. tidaklah sama dengan telanjang yang dilakukan cewek ABG. dan anak pra sekolah di tempat terbuka.
Syari’ah dalam hal ini menempatkan Pornoaksi sebagai yang paling disorot dalam hukum, sehingga label untuk Pornoaksi ini lebih devinitif karena wujud negatifnya nyata. Hukum haram dalam Pornoaksi ini mengena secara keseluruhan, baik atas diri pelaku dan penikmat.
Sedangkan dalam Pornografi (foto bugil misalnya) beberapa sisi patut disorot, Saat pengambilan gambar, jika dilakukan sendiri atau mahramnya (suami/istri) di ruang tertutup, maka tidak ada indikasi keharaman. Akan tetapi bila hal itu dilakukan oleh  orang  lain (ajnabi), maka mutlak dilarang. Gambar porno tidaklah menjadi obyek Hukum, sebab gambar bukan mukallaf dan Hukum tidak bisa dikaitkan dengan pelaku dalam gambar tersebut. Pemirsa gambar itu juga tidak dikenai Hukum, karena ia tidak melihat “Bodi Manusia”. hal yang dilarang dalam hukum eksoteris hanyalah antara manusia dan manusia, sedangkan gambar (dalam kertas, film, kaca) jelas bukan manusia yang pada hakekatnya tidak bisa dinikmati secara seksual-biologis.
Menyorot dampak Pornografi, yang dikedepankan  adalah teori sadd al-dzari’ah, yakni tindakan dini guna mencegah hal negatif yang bakal timbul dari suatu  perbuatan yang secara lahiriah diperbolehkan. bila dampaknya posistif (pasti) negatif, maka perbuatan itu dilarang karena dianggap sebagai perbuatan pengantar atas perbuatan negatif dan hukumnyapun negatif. bila dampaknya positif tidak negatif, maka boleh hukumnya dan bila dampak itu tak menentu, hukumnya cenderung dilarang.
Kaum esoteris dan pemuja etika memandang perbuatan manusia tidak terpaku pada Hukum  Fiqih. “ Fiqih bukanlah hukum satu-satunya yang berbicara atas nama agama. Di atas fiqih terdapat aturan-aturan yang sangat santun dan hati-hati menyikapi hal negatif jauh sebelum realistisnya.
       Syari’ah (sebagai hukum Islam secara keseluruhan) bergerak pada semua sisi kehidupan manusia, tidak terpaku pada hukum halal-haram saja, melainkan merambah pada dataran nilai, nilai  (value) tertinggi dan Tuhan memandang manusia dari sisi amalnya yang terbaik (ayyukum ahsanu ‘amala).
  Meski dalam pornografi bisa dilihat dari sudut seni, akan tetapi seni itu sendiri adalah  kreasi manusia yang tidak bisa lepas dari ikatan-ikatan norma sebagai mana layaknya kreasi manusia yang lain. Jadi  seni  bukanlah “Tuhan” yang bebas berbuat, bukan pula penguasa buta yang semena-mena dan menafikan segala norma yang ada.
Pornografi pada awal kalinya bisa diposisikan sebagai sesuatu yang  kosong tanpa ada hukum yang Me-lebel-i. Baru ada hukum setelah ia terkait dengan kegunaan dan pemanfaatan manusia. Bagi keluarga yang tidak menemukan kebahagiaan biologis sehingga mengancam kesakinahan rumah tangga, pornografi mungkin dapat dijadikan sarana menggairahkan hubungan seksual antar suami-istri demi keharmonisan keluarga, apalagi bila dokter ahli menganjurkan hal demikian. Akan tetapi bila pornografi hanyalah sebuah kerja hedonis atau memburu kenikmatan nafsu yang pada umumnya berakibat negatif, maka pornografi jelas sebagai pengantar suatu perbuatan negatif, dan itu dilarang. waallahu a’lam bisshawab. dimuat dihttp://bata-bata.net/pornografi-dalam-sketsa-syariah-islam/
* Penulis adalah Alumni Bata-Bata, saat ini menempuh kuliah di Ma'had Aly Hasym Asy'ari, dan UNHASY, Jombang