Al-‘Aqā’id An-Nasafiyāh Oleh Najm Ad-Dīn An-Nasafī
Pendahuluan
Pendahuluan
Al-‘Aqā’id an-Nasafiyah[1] adalah karya singkat Imam an-Nasafī Umar Bin Muhammad Bin Ismail
Ibn Muhammad Ibn ‘Alī Ibn Luqman An-Nasafī (461-537H/1068-1142M) –dikenal
dengan Nazmuddīn an-Nasafī- seorang ulama abad pertengahan berasal dari daerah
Nasaf, Turkistan, Samarkand –sekarang Uzbekistan-, seorang ahli tafsir, Faqīh, ahli
Hadīth, Sejarahwan, Sastrawan dan Teolog. Imam Jalal ad-Dīn as-Suyuti (1445–1505 M) dari Ibn Mas’ani menyebut An-Nasafī seorang imam yang unggul dalam
berbagai bidang, yang menelurkan banyak karya dari berbagai macam cabang ilmu,
karyanya mencapai seratus kitab. Salah satu karyanya yang terkenal dalam bidang
tafsir adalah; Taysīr fi At-Tafsīr Al-Muwaqīt, Wa Al-Is’ār bi Al-Mukhtār Min
Al-Asy’ār, Manzumah Al-Khilafiyāt, Tarīkh Bukhorī, Kitab An-Najāh fi Syarh
Kitab Akhbār As-Sihāh -Syarh Sahīh Bukhori-, dalam bidang Fiqh;
Nazm Az-Zami As-Sogīr Fi Fiqh al-Hanafiyah. Komentator -Syarh- ‘Aqidah
Nasafiyāh yang paling terkenal oleh Said ad-Dīn at-Taftāzānī
(712-793H/1312-1390M)[2]
Penyebaran Doktrin Ketuhanan
Ilmu
kalam dibangun menjadi sebuah cabang ilmu dan dikenalkan oleh Mu’tazilah
yang dikomandoi oleh Wāṣil ibn ʿAṭā' (w.131H/748M). Buku ini dimaksudkan untuk
mengelaborasikan dan menjawab golongan yang menentang ilmu kalam.
Seperti para Filsuf dan Mulhidīn –Ateis-. Dari dinamika permulaan Islam,
melahirkan beberapa mazhab teologi yang eksis hingga saat ini, yaitu antara
Sunnah (Asy’ari, Maturidi) dan Syiah, Mu’tazilah, Khawarij dan Zabariyah. Pada
abad ke dua Hijriah mulai dilakukan kodifikasi kitab-kitab dalam bidang akidah,
Beberapa diantaranya masih bisa kita akses hingga saat ini, Seperti kitab Fiqh
al-Akbar karya Al-Imām Al-Aʿẓam Abū Ḥanīfah (699–767M/ 80–148H) dan Al-ʿAqīdah
aṭ-Ṭaḥāwiyya karya Imam Abu Ja'far al-ṬaḥāwĪ (853-933 M/239-321H).
Salah
satu titik pijak perbedaan Sunnah, Syiah dan Khawarij adalah;
Syiah yang begitu ekstrem mengagungkan Ahlu Bayt (terkadang
diasosiasikan dengan Rofidī) pecinta klan Rasulullah SAW dan sangat
membenci para sahabat; terutama Khalifah Abu Bakar as-Siddiq -ʿAbd Allāh ibn
Abī Quḥāfah- (573–634M), `Umar ibn Al-Khattāb (579–644M), apalagi dengan Muʿāwiyah
ibn ʾAbī Sufyān (602–680M). Disisi lain ada Khawarij yang berbeda 180
derajat, mereka begitu membenci Khalifah `Alī ibn Abī Ṭālib dan Ahlu al-Bayt
(golongan ini terkadang diasosiasikan dengan Nasibi). Ahlu Sunnah
Wal Jama’ah hadir sebagai kubu yang moderat, yang menghormati keluarga Nabi
SAW dan juga mengagungkan
Sahabatnya.
Mazhab
Fiqh Hanafi dengan penyebaran utamanya di India, Pakistan, Afganistan dan Turki,
memiliki kedekatan dengan Mazhab Maturidi dalam teologi, yang dinisbatkan
kepada Muhammad Abu Mansur al-Maturidi (853–944 M). Sedangkan mazhab fiqh Syafi’I
dan Maliki tendensi kepada Asy’ari. Indonesia yang bermazhab fiqh Syafi’i -Abu ʿAbdillah
Muhammad ibn Idris al-Shafi‘i- (767-820 M/150-204H) wajar tidak kenal buku ini,
atau muslim di Afrika seperti Sinegal, Maroco dan Mauritania yang bermazhab Fiqih
Maliki -Mālik ibn Anas ibn Mālik al-Asbahī- (711-795M/93–179H) tidak pernah
bersentuhan dengan buku standar Maturidi ini. Mazhab Hanbālī -Ahmad bin Hanbal
Abu `Abd Allah al-Shaybani (780–855M/ 164–241H)- lebih condong kepada Tajsimiyah
-Allah memiliki organ tubuh- yang sekarang menjadi pijakan manhaj Salafi
Wahabi dengan aqidah Ilahiyāh, Rububiyāh, Asmā wa Sifāh[3].
Tujuan dan konten Umum Aqidah Nasafiyah
An-Nasafī
menyinggung geneologi kalam, karena dalam bidang ilmu ini banyak
pembahasan, perdebatan dan pertentangan. Terminologi Ilmu kalam, Tauhid atau
Aqidah sendiri merupakan istilah baru dalam tradisi Islam, yang tidak pernah
digunakan pada masa Nabi sampai sahabat,
pada masa itu belum dibutuhkan kodifikasi ilmu pengetahuan, referensi langsung
kepada al-Qur’an dan Hadits, mayoritas Sahabat memiliki pengetahuan dan Suhbah
-menemani- secara langsung dengan Nabi Muhammad SAW, segala persoalan bisa
ditanyakan langsung kepada Sang Nabi. Perbedaan tidak menjadi masalah, karena
jumlah sahabat pada masa Nabi hanya 135000 orang dan mayoritas memiliki
loyalitas yang tinggi, tidak dibutuhkan ilmu Aqidah, Fiqh, Usul Fiqh, Tafsir
dan Nahwu pada saat itu.
Akidah
Islam berbeda dengan Agama apapun
didunia, walau dengan serumpun ibrahimi sekalipun. Mazhab
teologi Maturidi, yang menjadi konsensus ulama salaf –sebelum Abad 3
Hijriah- sebagai standar Akidah Ahlu Sunnah wal Jamaah, secara aqidah
memiliki kedekatan dengan mazhab Asy’ari Abū al-Hasan Alī ibn Ismā'īl al-Ash'arī (874–936 M), Ilmu Akidah
merupakan Ilmu qat’i berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah sahih mutawatir,
kedua dalil absolut sebagai landasan ilmu ini, hadīth Ahad Sahih hanya
diterima bila tidak bertentangan dengan dua yang awal. Hal ini berbeda dengan
cabang ilmu lain yang bersifat Zanni.
Analisis Konten
Kitab
ini diawali dengan konsep kebenaran dan ilmu pengetahuan, sekaligus menegasikan
pendapat filsuf, tentang kebenaran relatif, relatifitas dan postmodernisme. Pengetahuan
berasal dari tiga sumber; yang pertama adalah panca indera manusia. Kedua
adalah Berita autentik, ada dua macam; mutawatīr[4] -massif- sebagai sumber ilmu Dorūrī (dapat mengetahui tanpa
proses berpikir), berita autentik yang kedua adalah Kabar dari Rasul yang
diberi Mu’jizat, ini disebut sebagai ilmu Istidlālī (sebuah teori
berdasarkan pencarian dalil). Sumber pengetahuan ketiga adalah Akal; terbagi
dalam dua kategori; Dorūrī, dan Iktisābī/Istidlālī. Ilham tidak
termasuk sebagai sumber pengetahuan secara general, walau dimungkinkan
didapatkan oleh sebagian orang, namun Ilham tidak dapat dijadikan standar.
Setelah
memberi landasan epistemologi, karya ini mulai mengelaborasikan alam semesta
yang tersusun dari partikel-partikel, atom yang terkonfigurasi secara teratur,
sebagai kreasi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sifat Allah (Al-Wāhid) zat
maha tunggal yang absolut unik, (Al-Qadīm) terdahulu tanpa awal dan
abadi tanpa akhir, (Al-Hay) maha Hidup, (Al-Qādir) maha kuasa, (As-Samī’I)
maha mendengar, (Al-Baṣīr) maha melihat dan (As-Syā’ī) maha
berkehendak, Allah SWT tidak menyerupai apapun, seluruh alam semesta tidak ada
yang keluar dari ilmu dan kekuasaan Allah SWT, segala sifat-Nya berdiri dengan
sendirinya. Tidak menyerupai atau seperti apapun.
Al-Qur’an,
kalam Allah SWT yang Qadīm (bukan makhluk-Nya), kalam qadim
termasuk sifatNya, (At-Takwin) sang kreator sifat azali Allah
ta’ala, menciptakan alam dan setiap zat/partikel dari berbagai zat-zat, belum
ada pada masa azali, melainkan kebaruan yang berbarengan dengan adanya
zat tersebut, dengan pengetahuan dan kehendakNya. (Al-Iradah) maha
berkehendak, seluruh sifat Allah Ta’ala terdahulu berdiri sendiri pada zat-Nya.
Melihat
Allah SWT di akhirat merupakan keniscayaan, sesuai dengan dalil; “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau”[5] dalam ayat Ini Nabi Musa memohon agar dapat melihat Tuhan, tidak
mungkin seorang Nabi memohon hal yang mustahil. “kami tidak akan beriman
kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas”.[6] “Wajah-wajah (orang mukmin) pada waktu itu berseri-seri. Memandang
Tuhannya”.[7]
Allah
menciptakan segala amal perbuatan seluruh hamba, yang kafir dan beriman, namun (Af’āl)
perbuatan merupakan pilihan bagi hamba, konsekuensi logisnya akan diganjar
atau disiksa karena perbuatan hamba; “Barang siapa menghendaki (beriman)
hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir”.[8]
Barang Haram termasuk rizki dari Allah SWT[9], segala yang diberikan kepada hamba baik
halal maupun haram merupakan rizkiNya. Apa yang terbaik bagi hamba, bukan
kewajiban bagi Allah Ta’ala. Azab kubur disiapkan bagi orang kafir dan sebagian Muslim yang ma’siat,
begitu juga sebaliknya diberikan full service bagi hamba yang taat,
seluruhnya dengan pengetahuan dan kehendak-Nya. Pertanyaan dua malaikat Munkar
dan Nakīr dan hari kebangkitan[10] juga benar adanya. Dosa besar tidak mengeluarkan seorang hamba
mu’min dari iman, dan tidak mengeluarkannya dalam kufūr[11]. Konsep Iman dalam Mazhab Maturidi selalu konsisten, tidak
bertambah maupun berkurang[12]
Akhir
dari kitab ini diakhiri dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW, dan bukti sebagai
Nabi dan Rasul terakhir. Dilanjutkan dengan Malaikat, sebagai hamba Allah SWT
yang mengerjakan segala perintahNya. Apa yang telah diturunkan kepada para Nabi
dari kitab-kitabNya adalah haq, Mi’raj Nabi Muhammad merupakan
keniscayaan. Kebenaran adanya karamah Aulia –plural dari wali-. Khulafā
Ar-Rasyidīn sebagai manusia terbaik paska nabi Muhammad SAW, Keunggulan
Sahabat Nabi dari generasi sesudahnya.
Apa
yang disampaikan Nabi Alaihi Salam tentang tanda-tanda kiamat/hari akhir
adalah benar; dari keluarnya Dajjal, Ya’jūj wa Ma’jūj, turun kembali Nabi Isa/Yesus
Alaihi Salam dari langit, dan terbitnya matahari dari barat. Rasul dari
bangsa manusia lebih utama dari Rasul bangsa malaikat, Rasul Malaikat lebih
utama dari manusia umumnya, dan manusia pada umumnya lebih utama dari malaikat
awam/umum.(Review Oleh: A. Fathurrohman Rustandi)
[1] Buku yang di review adalah syarah dari Aqidah
Nasafiyah karya Said ad-Dīn
at-Taftāzānī, Syarah al-Aqidah an-Nasafiyah, al-Maktabah
al-Azhariyah li at-Turās, (Kairo, 2012)
[2] Nama lengkapnya Mas’ud Ibn Umar Ibn Abdullah lebih dikenal dengan Said
ad-Dīn at-Taftāzānī (712-793H/1312-1390M), seorang ahli fiqh mazhab Syafi’I,
teologian, ahli Tafsir, ahli Nahwu, Saraf, Ma’ani, Bayan dan juga Mantiq
(logika). Dilahirkan di daerah Taftajān, Khurasan (sekarang Afganistan) dan
hijrah ke Samarkand pada masa Timūr lang, karyanya yang terkenal; Tahzīb
Al-Mantiq, Al-Matūl fi Al-Balāgāh, Irsyād Al-Hadi fi An-Nahwi, Syarh Ala
Ar-Risalah As-Samsiyah fi Al-Mantiq.
[3] Klasifikasi ini di populerkan oleh Syaikh Al-Islam ibn
Taymiyyah (1263–1328 M) lahir di kota Harran dan meninggal di Damaskus, Suriah/Syria
pada usia 65 tahun, nama lengkapnya Taqī ad-Dīn Abu 'l-`Abbās Aḥmad ibn `Abd
al-Ḥalīm ibn `Abd as-Salām Ibn Taymiyyah al-Ḥarrānī
[4] Seperti kabar kota Istanbul berada di Turki, jutaan orang
menyatakan hal yang sama, itu bisa dikatakan sumber pengetahuan. Berita kaum
Nasrani tentang Yesus Kristus Alaihi Salam yang disalib, ratusan juta
orang menyampaikan berita ini, atau tentang kaum Yahudi yang mengharuskan
menyembah Agama Nabi Musa Alaihi Salam, untuk dua transmisi massif ini
Imam Nasafī memberi pengecualian dengan menolaknya.
[5] Al-Qur’an, Surah Al-A’rāf (7): 143 (terjemahan
kementerian Agama RI )
[6] Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah (2): 55 (Terjemahan
Kementerian Agama RI)
[7] Al-Qur’an, Surah Al-Qiyāmah (75): 22-23 (Terjemahan
Kementerian Agama RI)
[8] Al-Qur’an; Surah Al-Kahf (18): 29
[9] Menurut Mu’tazilah barang haram bukan termasuk rizki, tidak memberikan
Allah SWT kecuali yang halal.
[10] Allah akan membangkitkan orang yang telah meninggal didalam kubur, mengakumulasikan
balasan mereka, dan mengembalikan arwah kepadanya.
[11] Dalam Khawarij dan Mu’tazilah dianggap keluar dari Islam bagi pelaku
dosa besar.
[12] Akidah Asy’ari meyakini bahwa iman berkurang (ketika maksiat) dan
bertambah (ketika taat).
0 komentar:
Posting Komentar