Minggu, 16 November 2014

Al-‘Aqā’id An-Nasafiyāh Oleh Najm Ad-Dīn An-Nasafī


 Al-‘Aqā’id An-Nasafiyāh Oleh Najm Ad-Dīn An-Nasafī
Pendahuluan
Al-‘Aqā’id an-Nasafiyah[1] adalah karya singkat Imam an-Nasafī Umar Bin Muhammad Bin Ismail Ibn Muhammad Ibn ‘Alī Ibn Luqman An-Nasafī (461-537H/1068-1142M) –dikenal dengan Nazmuddīn an-Nasafī- seorang ulama abad pertengahan berasal dari daerah Nasaf, Turkistan, Samarkand –sekarang Uzbekistan-, seorang ahli tafsir, Faqīh, ahli Hadīth, Sejarahwan, Sastrawan dan Teolog. Imam Jalal ad-Dīn as-Suyuti (1445–1505 M) dari Ibn Mas’ani menyebut An-Nasafī seorang imam yang unggul dalam berbagai bidang, yang menelurkan banyak karya dari berbagai macam cabang ilmu, karyanya mencapai seratus kitab. Salah satu karyanya yang terkenal dalam bidang tafsir adalah; Taysīr fi At-Tafsīr Al-Muwaqīt, Wa Al-Is’ār bi Al-Mukhtār Min Al-Asy’ār, Manzumah Al-Khilafiyāt, Tarīkh Bukhorī, Kitab An-Najāh fi Syarh Kitab Akhbār As-Sihāh -Syarh Sahīh Bukhori-, dalam bidang Fiqh; Nazm Az-Zami As-Sogīr Fi Fiqh al-Hanafiyah. Komentator -Syarh- ‘Aqidah Nasafiyāh yang paling terkenal oleh Said ad-Dīn at-Taftāzānī (712-793H/1312-1390M)[2]
Penyebaran Doktrin Ketuhanan
Ilmu kalam dibangun menjadi sebuah cabang ilmu dan dikenalkan oleh Mu’tazilah yang dikomandoi oleh Wāṣil ibn ʿAṭā' (w.131H/748M). Buku ini dimaksudkan untuk mengelaborasikan dan menjawab golongan yang menentang ilmu kalam. Seperti para Filsuf dan Mulhidīn –Ateis-. Dari dinamika permulaan Islam, melahirkan beberapa mazhab teologi yang eksis hingga saat ini, yaitu antara Sunnah (Asy’ari, Maturidi) dan Syiah, Mu’tazilah, Khawarij dan Zabariyah. Pada abad ke dua Hijriah mulai dilakukan kodifikasi kitab-kitab dalam bidang akidah, Beberapa diantaranya masih bisa kita akses hingga saat ini, Seperti kitab Fiqh al-Akbar karya Al-Imām Al-Aʿẓam Abū Ḥanīfah (699–767M/ 80–148H) dan Al-ʿAqīdah aṭ-Ṭaḥāwiyya karya Imam Abu Ja'far al-ṬaḥāwĪ (853-933 M/239-321H).
Salah satu titik pijak perbedaan Sunnah, Syiah dan Khawarij adalah; Syiah yang begitu ekstrem mengagungkan Ahlu Bayt (terkadang diasosiasikan dengan Rofidī) pecinta klan Rasulullah SAW dan sangat membenci para sahabat; terutama Khalifah Abu Bakar as-Siddiq -ʿAbd Allāh ibn Abī Quḥāfah- (573–634M), `Umar ibn Al-Khattāb (579–644M), apalagi dengan Muʿāwiyah ibn ʾAbī Sufyān (602–680M). Disisi lain ada Khawarij yang berbeda 180 derajat, mereka begitu membenci Khalifah `Alī ibn Abī Ṭālib dan Ahlu al-Bayt (golongan ini terkadang diasosiasikan dengan Nasibi). Ahlu Sunnah Wal Jama’ah hadir sebagai kubu yang moderat, yang menghormati keluarga Nabi SAW dan juga mengagungkan Sahabatnya.
Mazhab Fiqh Hanafi dengan penyebaran utamanya di India, Pakistan, Afganistan dan Turki, memiliki kedekatan dengan Mazhab Maturidi dalam teologi, yang dinisbatkan kepada Muhammad Abu Mansur al-Maturidi (853–944 M). Sedangkan mazhab fiqh Syafi’I dan Maliki tendensi kepada Asy’ari. Indonesia yang bermazhab fiqh Syafi’i -Abu ʿAbdillah Muhammad ibn Idris al-Shafi‘i- (767-820 M/150-204H) wajar tidak kenal buku ini, atau muslim di Afrika seperti Sinegal, Maroco dan Mauritania yang bermazhab Fiqih Maliki -Mālik ibn Anas ibn Mālik al-Asbahī- (711-795M/93–179H) tidak pernah bersentuhan dengan buku standar Maturidi ini. Mazhab Hanbālī -Ahmad bin Hanbal Abu `Abd Allah al-Shaybani (780–855M/ 164–241H)- lebih condong kepada Tajsimiyah -Allah memiliki organ tubuh- yang sekarang menjadi pijakan manhaj Salafi Wahabi dengan aqidah Ilahiyāh, Rububiyāh, Asmā wa Sifāh[3].

Tujuan dan konten Umum Aqidah Nasafiyah
An-Nasafī menyinggung geneologi kalam, karena dalam bidang ilmu ini banyak pembahasan, perdebatan dan pertentangan. Terminologi Ilmu kalam, Tauhid atau Aqidah sendiri merupakan istilah baru dalam tradisi Islam, yang tidak pernah digunakan pada masa Nabi sampai  sahabat, pada masa itu belum dibutuhkan kodifikasi ilmu pengetahuan, referensi langsung kepada al-Qur’an dan Hadits, mayoritas Sahabat memiliki pengetahuan dan Suhbah -menemani- secara langsung dengan Nabi Muhammad SAW, segala persoalan bisa ditanyakan langsung kepada Sang Nabi. Perbedaan tidak menjadi masalah, karena jumlah sahabat pada masa Nabi hanya 135000 orang dan mayoritas memiliki loyalitas yang tinggi, tidak dibutuhkan ilmu Aqidah, Fiqh, Usul Fiqh, Tafsir dan Nahwu pada saat itu.
Akidah Islam berbeda dengan Agama apapun didunia, walau dengan serumpun ibrahimi sekalipun. Mazhab teologi Maturidi, yang menjadi konsensus ulama salaf –sebelum Abad 3 Hijriah- sebagai standar Akidah Ahlu Sunnah wal Jamaah, secara aqidah memiliki kedekatan dengan mazhab Asy’ari Abū al-Hasan Alī ibn Ismā'īl al-Ash'arī (874–936 M), Ilmu Akidah merupakan Ilmu qat’i berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah sahih mutawatir, kedua dalil absolut sebagai landasan ilmu ini, hadīth Ahad Sahih hanya diterima bila tidak bertentangan dengan dua yang awal. Hal ini berbeda dengan cabang ilmu lain yang bersifat Zanni.


Analisis Konten
Kitab ini diawali dengan konsep kebenaran dan ilmu pengetahuan, sekaligus menegasikan pendapat filsuf, tentang kebenaran relatif, relatifitas dan postmodernisme. Pengetahuan berasal dari tiga sumber; yang pertama adalah panca indera manusia. Kedua adalah Berita autentik, ada dua macam; mutawatīr[4] -massif- sebagai sumber ilmu Dorūrī (dapat mengetahui tanpa proses berpikir), berita autentik yang kedua adalah Kabar dari Rasul yang diberi Mu’jizat, ini disebut sebagai ilmu Istidlālī (sebuah teori berdasarkan pencarian dalil). Sumber pengetahuan ketiga adalah Akal; terbagi dalam dua kategori; Dorūrī, dan Iktisābī/Istidlālī. Ilham tidak termasuk sebagai sumber pengetahuan secara general, walau dimungkinkan didapatkan oleh sebagian orang, namun Ilham tidak dapat dijadikan standar.
Setelah memberi landasan epistemologi, karya ini mulai mengelaborasikan alam semesta yang tersusun dari partikel-partikel, atom yang terkonfigurasi secara teratur, sebagai kreasi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sifat Allah (Al-Wāhid) zat maha tunggal yang absolut unik, (Al-Qadīm) terdahulu tanpa awal dan abadi tanpa akhir, (Al-Hay) maha Hidup, (Al-Qādir) maha kuasa, (As-Samī’I) maha mendengar, (Al-Baṣīr) maha melihat dan (As-Syā’ī) maha berkehendak, Allah SWT tidak menyerupai apapun, seluruh alam semesta tidak ada yang keluar dari ilmu dan kekuasaan Allah SWT, segala sifat-Nya berdiri dengan sendirinya. Tidak menyerupai atau seperti apapun.
Al-Qur’an, kalam Allah SWT yang Qadīm (bukan makhluk-Nya), kalam qadim termasuk sifatNya, (At-Takwin) sang kreator sifat azali Allah ta’ala, menciptakan alam dan setiap zat/partikel dari berbagai zat-zat, belum ada pada masa azali, melainkan kebaruan yang berbarengan dengan adanya zat tersebut, dengan pengetahuan dan kehendakNya. (Al-Iradah) maha berkehendak, seluruh sifat Allah Ta’ala terdahulu berdiri sendiri pada zat-Nya.
Melihat Allah SWT di akhirat merupakan keniscayaan, sesuai dengan dalil; “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau”[5] dalam ayat Ini Nabi Musa memohon agar dapat melihat Tuhan, tidak mungkin seorang Nabi memohon hal yang mustahil. “kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas”.[6] “Wajah-wajah (orang mukmin) pada waktu itu berseri-seri. Memandang Tuhannya”.[7]
Allah menciptakan segala amal perbuatan seluruh hamba, yang kafir dan beriman, namun (Af’āl) perbuatan merupakan pilihan bagi hamba, konsekuensi logisnya akan diganjar atau disiksa karena perbuatan hamba; “Barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir”.[8]
Barang Haram termasuk rizki dari Allah SWT[9], segala yang diberikan kepada hamba baik halal maupun haram merupakan rizkiNya. Apa yang terbaik bagi hamba, bukan kewajiban bagi Allah Ta’ala. Azab kubur disiapkan bagi orang kafir dan sebagian Muslim yang ma’siat, begitu juga sebaliknya diberikan full service bagi hamba yang taat, seluruhnya dengan pengetahuan dan kehendak-Nya. Pertanyaan dua malaikat Munkar dan Nakīr dan hari kebangkitan[10] juga benar adanya. Dosa besar tidak mengeluarkan seorang hamba mu’min dari iman, dan tidak mengeluarkannya dalam kufūr[11]. Konsep Iman dalam Mazhab Maturidi selalu konsisten, tidak bertambah maupun berkurang[12]
Akhir dari kitab ini diakhiri dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW, dan bukti sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Dilanjutkan dengan Malaikat, sebagai hamba Allah SWT yang mengerjakan segala perintahNya. Apa yang telah diturunkan kepada para Nabi dari kitab-kitabNya adalah haq, Mi’raj Nabi Muhammad merupakan keniscayaan. Kebenaran adanya karamah Aulia –plural dari wali-. Khulafā Ar-Rasyidīn sebagai manusia terbaik paska nabi Muhammad SAW, Keunggulan Sahabat Nabi dari generasi sesudahnya.
Apa yang disampaikan Nabi Alaihi Salam tentang tanda-tanda kiamat/hari akhir adalah benar; dari keluarnya Dajjal, Ya’jūj wa Ma’jūj, turun kembali Nabi Isa/Yesus Alaihi Salam dari langit, dan terbitnya matahari dari barat. Rasul dari bangsa manusia lebih utama dari Rasul bangsa malaikat, Rasul Malaikat lebih utama dari manusia umumnya, dan manusia pada umumnya lebih utama dari malaikat awam/umum.(Review Oleh: A. Fathurrohman Rustandi)    




[1] Buku yang di review adalah syarah dari Aqidah Nasafiyah karya  Said ad-Dīn at-Taftāzānī, Syarah al-Aqidah an-Nasafiyah, al-Maktabah al-Azhariyah li at-Turās, (Kairo, 2012)
[2] Nama lengkapnya Mas’ud Ibn Umar Ibn Abdullah lebih dikenal dengan Said ad-Dīn at-Taftāzānī (712-793H/1312-1390M), seorang ahli fiqh mazhab Syafi’I, teologian, ahli Tafsir, ahli Nahwu, Saraf, Ma’ani, Bayan dan juga Mantiq (logika). Dilahirkan di daerah Taftajān, Khurasan (sekarang Afganistan) dan hijrah ke Samarkand pada masa Timūr lang, karyanya yang terkenal; Tahzīb Al-Mantiq, Al-Matūl fi Al-Balāgāh, Irsyād Al-Hadi fi An-Nahwi, Syarh Ala Ar-Risalah As-Samsiyah fi Al-Mantiq.
[3] Klasifikasi ini di populerkan oleh Syaikh Al-Islam ibn Taymiyyah (1263–1328 M) lahir di kota Harran dan meninggal di Damaskus, Suriah/Syria pada usia 65 tahun, nama lengkapnya Taqī ad-Dīn Abu 'l-`Abbās Aḥmad ibn `Abd al-Ḥalīm ibn `Abd as-Salām Ibn Taymiyyah al-Ḥarrānī
[4] Seperti kabar kota Istanbul berada di Turki, jutaan orang menyatakan hal yang sama, itu bisa dikatakan sumber pengetahuan. Berita kaum Nasrani tentang Yesus Kristus Alaihi Salam yang disalib, ratusan juta orang menyampaikan berita ini, atau tentang kaum Yahudi yang mengharuskan menyembah Agama Nabi Musa Alaihi Salam, untuk dua transmisi massif ini Imam Nasafī memberi pengecualian dengan menolaknya.
[5] Al-Qur’an, Surah Al-A’rāf (7): 143 (terjemahan kementerian Agama RI )
[6] Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah (2): 55 (Terjemahan Kementerian Agama RI)
[7] Al-Qur’an, Surah Al-Qiyāmah (75): 22-23 (Terjemahan Kementerian Agama RI)
[8] Al-Qur’an; Surah Al-Kahf (18): 29
[9] Menurut Mu’tazilah barang haram bukan termasuk rizki, tidak memberikan Allah SWT kecuali yang halal. 
[10] Allah akan membangkitkan orang yang telah meninggal didalam kubur, mengakumulasikan balasan mereka, dan mengembalikan arwah kepadanya.
[11] Dalam Khawarij dan Mu’tazilah dianggap keluar dari Islam bagi pelaku dosa besar.
[12] Akidah Asy’ari meyakini bahwa iman berkurang (ketika maksiat) dan bertambah (ketika taat).

0 komentar:

Posting Komentar