Ziarah sebagai tradisi berkunjung ke makam orang yang meninggal, tempat keramat dan mulia sudah lama berlangsung dan terdapat tidak hanya dalam ajaran Islam. Bagi umat Islam berziarah kepada orang yang sudah meninggal sudah ada sejak periode kenabian Muhammad. Bahkan jika ziarah dimaknai sebagai mengunjungi tempat-tempat bersejarah, maka ka’bah adalah pusat ziarah sepanjang masa sejak ia dibangun pada masa nabi Ibrahim hingga kini.
Islam memandang positif ziarah, sepanjang ziarah itu dilaksanakan dengan tidak merusak akidah Islam yang prinsip, misalnya berbuat syirik dengan meminta-minta kepada orang yang diziarahi. Meminta kepada yang sudah meninggal diperbolehkan, namun dengan makna tawassul, tentu ada cara khusus untuk melakukannya, agar sesuai dengan syariat agama. Namun yang utama, apa yang dilakukan oleh para peziarah utamanya adalah mendoakan mereka yang di maqbarah itu. Nabi Saw. sendiri mempunyai tradisi berziarah ke makam Baqi' dan para sahabat yang gugur di bukit uhud. sebagaiamana disebutkana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim; "Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. berziarah ke kuburan syuhada' di uhud setiap akhir tahun, beliau bersabda: keselamatan atas kalian dengan kesabaranmu dan inilah sebaik-baik tempat terakhir.”
Jika kita tilik dari teks-teks yang ada Pada mulanya ziarah adalah mendoakan kepada yang meninggal dan bisa juga ber-tawassul kepada yang meninggal. Namun seiring berkembangnya masyarakat dan terjadinya perubahan-perubahan sosial pada masyarakat. Ziarah dan makam pun mengalami perubahan dan perluasan fungsi. Makam yang menjadi fokus atau pusat tujuan misalnya semakin banyak berubah dari lokasi hingga fungsi. Ziarah tak lagi menjadi tempat “curhat” dan mengingat kematian atau pengharapan bagi orang-orang yang tak terpenuhi keadilannya di dunia. Namun mereka juga berharap bahwa dengan ziarah mereka percaya bahwa hanya kematian lah saatnya nanti mereka menerima pembalasan yang adil dan abadi.
Salah satu wacana yang menarik tentang fenomena keagamaan kini adalah tentang komodifikasi agama. Komodifikasi bisa berarti komoditas. Komoditas adalah benda komersil yang menjadi obyek perdagangan. Jadi komodifikasi bisa bermakna komersialisasi Islam, atau mengubah keimanan dan simbol-simbolnya menjadi komoditas yang dapat diambil keuntungannya. Komodifikasi Islam menjadikan Islam sebagai komoditas di semua lini. Ziarah hanyalah salah satu aspek dan contoh. Puncaknya bisa kita lihat pada bulan Ramadhan, bagaimana pasar dan agama dengan simbol-simbolnya dikomersilkan.
Makam Gus Dur yang diyakini oleh sebagian masyarakat sebagai makam wali sungguh telah menimbulkan banyak efek positif dari fungsi awalnya sebagai tempat mendoakan almarhum. Efek-efek positif itu misalnya; pertama, memberikan peluang usaha khususnya teruntuk masyarakat sekitar tebuireng. kedua, uang infak yang ada di makam, menurut informasi yang saya dapatkan mencapai puluhan juta perbulan kalau sedang ramai. Karena itu, pesantren merasa perlu untuk mengelolanya. Sehingga dibentuk LSPT (Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng). Dari situ mereka membagikan uang kepada fakir miskin dan anak yatim. Laporan penggunaannya diterbitkan dalam bulletin LSPT dan website resminya (www.lspt.or.id). Efek-Efek itu belum pada pedagang dadakan yang mungkin sekarang permanen seperti di makam-makam wali lain, seperti warung makam, cinderamata dll. Jadi inilah yang disebut bahwa orang yang sudah meninggal masih bisa “menyejahterakan” yang hidup.
Akhirnya, Keberagamaan
dalam berbagai bentuknya telah melahirkan simbo-simbol
yang menandai perilaku penganutnya. Simbol itu difungsikan sesuai dengan masa
dan waktu yang terus mengalami pergeseran. Generasi sekarang, menjalankan
agamanya dengan cara yang tidak sama dengan zaman orang tua mereka. Ini semua
tentu karena disebabkan berbagai perubahan sosial yang terjadi, bisa
meningkatkan kualitas bisa juga sebaliknya. Komodifikasi agama dalam berbagai
bentuk termasuk ziarah adalah salah satu bentuk yang dinilai mengurangi mutu
nilai ibadah itu meski disisi lain memberi sejumlah kemudahan dan nilai syiar.
Urusan kematian bukan saja soal kafan dan menggali kubur, tapi adalah juga
bagaimana yang hidup melihat peluang-peluang yang ada dan bisa dimanfaatkan
dalam menghormati yang sudah meninggal itu. Dengan kata lain yang wafat pun bisa
diajak bekerjasama.Wallahu a’lam[]
Refrensi:Fattah,
Munawwir Abdul,Tradisi Orang-Orang NU, Yogyakarta: LKiS, 2006Jurnal
Bimas Islam Vol.7. No.I 2014WikipediaAbdallah
Kamel, Omar,Kalimatun Hadi’ah Fit Tawassul, Kalimatun Hadi’ah fi Ahkamil Qubur,
Kalimatun Hadi’ah fiz Ziarah wa Syaddir Rihal. Tradisi Tawassul, terj.,Jakarta:
PP.Lakpesdam NU,2008Ahmad,
Akbar S. Ke Arah Antropologi Islam. terj.,Jakarta: DDII, 1994Chambert-Loir,
Henri & Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam (terj.) , Jakarta,
Serambi, 1995Dan berbagai sumber lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar