Kamis, 17 Desember 2015

Wisata Religi; komodifikasi Makam dan Agama?


Ziarah sebagai tradisi berkunjung ke makam orang yang meninggal, tempat keramat dan mulia sudah lama berlangsung dan terdapat tidak hanya dalam ajaran Islam. Bagi umat Islam berziarah kepada orang yang sudah meninggal sudah ada sejak periode kenabian Muhammad. Bahkan jika ziarah dimaknai sebagai mengunjungi tempat-tempat bersejarah, maka ka’bah adalah pusat ziarah sepanjang masa sejak ia dibangun pada masa nabi Ibrahim hingga kini.

Indonesia yang merupakan perlintasan sejarah kepercayaan dan agama-agama besar tak luput dari tradisi ziarah dengan berbagai ragamnya. Ziarah kepada para penyebar Islam yang disebut wali songo, wali, habaib dan para ulama sudah masyhur dan menjadi agenda hidup umat Islam. Tokoh atau magnet penarik ziarah juga terus bertambah sepanjang masa. Mereka memang secara tak langsung sudah menjadi magnet sejak hidup. Contoh yang fenomenal hingga hari ini adalah almarhum Gus Dur yang wafatnya telah memasuki tahun ke-enam. Makamnya tak pernah sepi dikunjungin para peziarah dalam suasana apapun, terlebih pada hari-hari libur.

Ziarah memainkan dua tataran penting; kunjungan ke makam-makam di satu pihak dan peran ziarah itu dalam kehidupan spiritual di lain pihak. Karena ziarah tidak hanya terfokus pada satu tempat, maka ada banyak aspek yang terkait. Aspek-aspek itu telah membentuk mata rantai yang diam-diam telah saling membutuhkan, misalnya dalam bentuk jasa-jasa barang; akomodasi, transportasi, konsumsi dll. Ziarah ke Tanah Suci, misalnya, memerlukan organizer, guide, pembimbing, pendoa, agar bisa menuntun ke jalan spritual yang lebih baik. Jika permintaan ziarah semakin tinggi, maka akan semakin banyak pula jasa-jasa itu dibutuhkan. Ritual agama ini pun meningkat tajam pada musim-musim tertentu. Menjelang Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri adalah contoh pergerakan massive para peziarah. Di luar itu ziarah mungkin bersifat personal dengan si mayyit, misalnya kunjungan-kunjungan menjelang hajat politik maupun berhubungan dengan haul atau ulang tahun kematian mereka yang wafat.

Islam memandang positif ziarah, sepanjang ziarah itu dilaksanakan dengan tidak merusak akidah Islam yang prinsip, misalnya berbuat syirik dengan meminta-minta kepada orang yang diziarahi. Meminta kepada yang sudah meninggal diperbolehkan, namun dengan makna tawassul, tentu ada cara khusus untuk  melakukannya, agar sesuai dengan syariat agama. Namun yang utama, apa yang dilakukan oleh para peziarah utamanya adalah mendoakan mereka yang di maqbarah itu. Nabi Saw. sendiri mempunyai tradisi berziarah ke makam Baqi' dan para sahabat yang gugur di bukit uhud. sebagaiamana disebutkana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim; "Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. berziarah ke kuburan syuhada' di uhud setiap akhir tahun, beliau bersabda: keselamatan atas kalian dengan kesabaranmu dan inilah sebaik-baik tempat terakhir.”

Jika kita tilik dari teks-teks yang ada Pada mulanya ziarah adalah mendoakan kepada yang meninggal dan bisa juga ber-tawassul kepada yang meninggal. Namun seiring berkembangnya masyarakat dan terjadinya perubahan-perubahan sosial pada masyarakat. Ziarah dan makam pun mengalami perubahan dan perluasan fungsi. Makam yang menjadi fokus atau pusat tujuan misalnya semakin banyak berubah dari lokasi hingga fungsi. Ziarah tak lagi menjadi tempat “curhat” dan mengingat kematian atau pengharapan bagi orang-orang yang tak terpenuhi keadilannya di dunia. Namun mereka juga berharap bahwa dengan ziarah mereka percaya bahwa hanya kematian lah saatnya nanti mereka menerima pembalasan yang adil dan abadi.
Salah satu wacana yang menarik tentang fenomena keagamaan kini adalah tentang komodifikasi agama. Komodifikasi bisa berarti komoditas. Komoditas adalah benda komersil yang menjadi obyek perdagangan. Jadi komodifikasi bisa bermakna komersialisasi Islam, atau mengubah keimanan dan simbol-simbolnya menjadi komoditas yang dapat diambil keuntungannya. Komodifikasi Islam menjadikan Islam sebagai komoditas di semua lini. Ziarah hanyalah salah satu aspek dan contoh. Puncaknya bisa kita lihat pada bulan Ramadhan, bagaimana pasar dan agama dengan simbol-simbolnya dikomersilkan.

Selain ziarah ke wali songo ziarah yang tak kalah fenomenalnya adalah ke makam presiden RI ke-4, Gus Dur. Kalau ada destinasi ziarah wali ke-10, maka Gus Dur, adalah tujuannya, demikian Ziarah dan makam dari ritual Agama Sampai Industri beberapa peziarah walisongo menyebutnya. Fenomena yang unik dan komplek yang berkumpul pada dirinya telah menjadikan makam Gus dur mempunyai nilai lebih dari pada pendahulunya. Di komplek makam keluarga itu berkumpul para kerabat dan pendahulu Gus Dur kakeknya KH.M. Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi Nahdlatul Ulama. Di situ pula ada KH.Wahid Hasyim, menteri agama yang mempunyai banyak terobosan di Departemen Agama RI dalam waktu singkat dan juga sebagai salah satu tokoh penting dalam pendirian republik ini bersama ayahnya. Dialah ayah Gus Dur. Tentu disini ada banyak kyai dan orang alim, para pendiri dan asatidz pesantren Tebuireng dan kerabat Gus Dur yang lain.

Makam Gus Dur yang diyakini oleh sebagian masyarakat sebagai makam wali sungguh telah menimbulkan banyak efek positif dari fungsi awalnya sebagai tempat mendoakan almarhum. Efek-efek positif itu misalnya; pertama, memberikan peluang usaha khususnya teruntuk masyarakat sekitar tebuireng. kedua,  uang infak yang ada di makam, menurut informasi yang saya dapatkan mencapai puluhan juta perbulan kalau sedang ramai. Karena itu, pesantren merasa perlu untuk mengelolanya. Sehingga dibentuk LSPT (Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng). Dari situ mereka membagikan uang kepada fakir miskin dan anak yatim. Laporan penggunaannya diterbitkan dalam bulletin LSPT dan website resminya (www.lspt.or.id). Efek-Efek itu belum pada pedagang dadakan yang mungkin sekarang permanen seperti di makam-makam wali lain, seperti warung makam, cinderamata dll. Jadi inilah yang disebut bahwa orang yang sudah meninggal masih bisa “menyejahterakan” yang hidup.

Akhirnya, Keberagamaan dalam berbagai bentuknya telah melahirkan simbo-simbol yang menandai perilaku penganutnya. Simbol itu difungsikan sesuai dengan masa dan waktu yang terus mengalami pergeseran. Generasi sekarang, menjalankan agamanya dengan cara yang tidak sama dengan zaman orang tua mereka. Ini semua tentu karena disebabkan berbagai perubahan sosial yang terjadi, bisa meningkatkan kualitas bisa juga sebaliknya. Komodifikasi agama dalam berbagai bentuk termasuk ziarah adalah salah satu bentuk yang dinilai mengurangi mutu nilai ibadah itu meski disisi lain memberi sejumlah kemudahan dan nilai syiar. Urusan kematian bukan saja soal kafan dan menggali kubur, tapi adalah juga bagaimana yang hidup melihat peluang-peluang yang ada dan bisa dimanfaatkan dalam menghormati yang sudah meninggal itu. Dengan kata lain yang wafat pun bisa diajak bekerjasama.Wallahu a’lam[]

Refrensi:Fattah, Munawwir Abdul,Tradisi Orang-Orang NU, Yogyakarta: LKiS, 2006Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014WikipediaAbdallah Kamel, Omar,Kalimatun Hadi’ah Fit Tawassul, Kalimatun Hadi’ah fi Ahkamil Qubur, Kalimatun Hadi’ah fiz Ziarah wa Syaddir Rihal. Tradisi Tawassul, terj.,Jakarta: PP.Lakpesdam NU,2008Ahmad, Akbar S. Ke Arah Antropologi Islam. terj.,Jakarta: DDII, 1994Chambert-Loir, Henri & Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam (terj.) , Jakarta, Serambi, 1995Dan berbagai sumber lainnya.

0 komentar:

Posting Komentar