Selasa, 17 Maret 2015

Fiqih Lingkungan Suatu Keharusan


Islam menekankan umatnya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan berlaku arif terhadap alam . Dalam QS. al-Anbiya’/21: 35-39 Allah mengisahkan kasus Nabi Adam. Adam telah diberi peringatan oleh Allah untuk tidak mencabut dan memakan buah khuldi. Namun, ia melanggar larangan itu. Akhirnya, Adam terusir dari surga. Ia diturunkan ke dunia. Di sini, surga adalah ibarat kehidupan yang makmur, sedangkan dunia ibarat kehidupan yang sengsara. Karena Adam telah merusak ekologi surga, ia terlempar ke padang yang tandus, kering, panas dan gersang. Doktrin ini mengingatkan manusia agar sadar terhadap persoalan lingkungan dan berikhtiar melihara ekosistem alam.
Akan tetapi, doktrin tersebut tidak diindahkan. Perusakan lingkungan tidak pernah berhenti. Eksplorasi alam tidak terukur dan makin merajalela. Dampaknya, ekosistem alam menjadi limbung. Ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Alam akan menjadi ancaman kehidupan yang serius. Ia senantiasa siap mengamuk sewaktu-waktu.
Dan Islam sebagai agama paripurna, memiliki kebenaran universal dan absolut -karena berasal dari zat yang maha absolut (Allah; Rabb al-Jalil), sejak 14 abad lalu telah memiliki perhatian khusus terhadap persoalan lingkungan, lewat warning (memberi peringatan) akibat kerusakan lingkungan, antara lain dinyatakan dalam Alquran, surat Ar-Ruum: 41. Dalam ayat itu dikatakan, kerusakan lingkungan akibat ulah tangan manusia yang fasid (destroyer/perusak akan ditimpakan kepada manusia itu sendiri (baik mereka yang merusak maupun yang tidak terlibat) supaya mereka kembali ke jalan yang benar (la‘allahum yarji‘un).
Sayangnya manusia tidak pernah jera dan mau mengambil pelajaran di balik bencana alam yang terjadi. Mereka bebal dan buta tuli terhadap tanda-tanda yang dihadirkan oleh alam sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap prilaku manusia yang rakus dan pongah dalam mengesploitasi alam. Sepertinya syair Ebiet G.Ade “mungkin alam sudah enggan bersahabat dengan kita” semakin menunjukkan kebenaran faktualnya. Bahkan bukan lagi sekedar ’mungkin‘ tapi sudah benar-benar benci dan marah terhadap prilaku dekonstruktif manusia terhadap alam sekitarnya. Buktinya hampir tiap hari bencana alam akrab mengancam hidup manusia.
Ancamam pemanasan global menjadi salah satu akibat keras kepalanya manusia. Padahal pemanasan global ini telah menjadi isu internasional, namun penghancuran lingkungan khususnya di Indonesia terus terjadi. Perambahan hutan dan perusakan ekosistem pesisir terus berlanjut, sementara reboisasi (penghijauan) yang dilakukan berjalan sangat lambat, bahkan bisa  dikatakan hampir tidak ada.
Hanya butuh waktu kurang dari satu jam untuk menebang kayu-kayu besar di rimba, tapi butuh ratusan tahun untuk membesarkan kayu-kayu itu kembali. Demikian juga dalam hal pelestarian hutan. Hutan dapat dihanguskan dan dirusak dalam hitungan jam, baik dengan satu biji korek api atau pembalakan liar yang dilakukan dengan menggunakan teknologi modern dan lain-lain, tapi butuh waktu puluhan, bahkan ratusan tahun untuk mengembalikannya ke kondisi semula.
Fiqih lingkungan (Fiqh al-Bi’ah) Sebuah Keharusan
Mari kita tilik sejenak setidaknya ada dua ajaran dasar yang harus diperhatikan umat Islam. Dua ajaran dasar itu merupakan dua kutub di mana manusia hidup. Yang pertama, rabbul’alamin. Islam mengajar bahwa Allah SWT itu adalah Tuhan semesta alam. Jadi bukan Tuhan manusia atau sekelompok manusia, bukan itu. Dari awal manusia yang bersedia mendengarkan ajaran Islam sudah dibuka wawasannya begitu luas bahwa Allah SWT adalah Tuhan semesta alam. Orang Islam tidak boleh berpikiran picik, Allah SWT bukan saja Tuhan kelompok mereka, Tuhan manusia, melainkan Tuhan seluruh alam. Jadi Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan semua alam. Dan alam di hadapan Tuhan, sama. Semuanya dilayani oleh Allah, dilayani oleh Allah sama dengan manusia. Itu dasar pertama.
Kutub yang kedua, rahmatan lil’alamin. Artinya manusia diberikan sebagai amanat untuk mewujudkan segala perilakunya dalam rangka kasih sayang terhadap seluruh alam. Kalau manusia bertindak dalam semua tindakannya berdasarkan kasih sayangnya kepada seluruh alam, tidak saja sesama manusia, namun juga kepada seluruh alam.
Masalah lingkungan adalah berbicara tentang kelangsungan hidup (manusia dan alam). Melestarikan lingkungan sama halnya dengan menjamin kelangsungan hidup manusia dan segala yang ada di alam dan sekitarnya. Sebaliknya, merusak lingkungan hidup, apapun bentuknya, merupakan ancaman serius bagi kelangsungan hidup alam dan segala isinya, tidak terkecuali manusia.
Fiqh Islam pun tumpul. Fiqh belum mampu menjadi jembatan yang mengantarkan norma Islam kepada perilaku umat yang sadar lingkungan. Sampai saat ini, masih jarang Fiqh yang secara komprehensif dan tematik berbicara tentang persoalan lingkungan. Salah satu kiai kita yang pernah merumuskan akan hal itu, ialah Prof. KH. Ali Yafie, mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia dalam buku beliau “Merintis Fiqh Lingkungan” sedangkan Fiqh-fiqh klasik yang ditulis oleh para imam mazhab hanya berbicara persoalan ibadah, mu’amalah, jinayah, munakahat dan lain sebagainya. Sementara, persoalan lingkungan (ekologi) tidak mendapat tempat yang proporsional dalam khazanah Islam klasik.
Fiqh dalam konteks lingkungan adalah hasil bacaan dan pemahaman manusia terhadap dalil naqli, baik yang maktubah (tertulis) maupun yang kauniyyah (tidak tertulis) yang tersebar di alam jagad raya. Jadi, Fiqh Lingkungan berarti pemahaman manusia tentang lingkungan hidup melalui pendekatan-pendekatan teks-teks suci dan tanda-tanda alam yang pada akhirnya akan melahirkan suatu konsep dan sikap mareka terhadap alam semesta, khususnya menyangkut pelestariannya. Karenanya pemahaman umat terhadap ajaran Islam perlu dikembangkan dan diperdalam agar Islam bisa dilihat comprehensif.
Perlu pemahaman yang cerdas dan arif, bahwa memasukkan isu-isu pelestarian lingkungan dalam kurikulum pendidikan pesantren dan diniyah, materi khutbah, sebagai suatu hal penting daripada membicarakan masalah ruknun min arkan al-Islam (rukun dari rukun Islam yang lima itu). Karena menjaga lingkungan hidup dan alam semesta ini adalah konsekuensi dari kepercayaan Tuhan kepada manusia yang telah Dia angkat menjadi khalifah (pengganti-Nya) di muka bumi ini. Tanggungjawab ini harus dipegang teguh oleh semua orang.
Terakhir, perhatikan firman Tuhan berikut: “Barangsiapa membunuh seorang manusia dan membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya”.(Q.S. 5:32). Jika orang yang melakukan pembunuhan dengan menggunakan senjata canggih disebut sebagai teroris, maka mengapakah para perusak lingkungan tidak juga disebut teroris, padahal hakikatnya mereka telah melakukan pembunuhan massal terhadap manusia?. Beranikah para ulama kita mengeluarkan fatwa haram dan kalau perlu “halal darahnya” bagi para perusak lingkungan? Waallahu a’lam (Dari berbagai sumber) tulisan ini peranh dimuat di ngokos.com
*Penulis adalah, alumni Bata-Bata saat ini tengah menyelesaikan study S1-nya di Universitas Hasyim Asya’ri dan Ma’had aly Hasyim Asy’ari

0 komentar:

Posting Komentar