Islam
menekankan umatnya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan berlaku arif
terhadap alam . Dalam QS. al-Anbiya’/21: 35-39 Allah mengisahkan kasus Nabi
Adam. Adam telah diberi peringatan oleh Allah untuk tidak mencabut dan memakan
buah khuldi. Namun, ia melanggar larangan itu. Akhirnya, Adam terusir dari
surga. Ia diturunkan ke dunia. Di sini, surga adalah ibarat kehidupan yang
makmur, sedangkan dunia ibarat kehidupan yang sengsara. Karena Adam telah
merusak ekologi surga, ia terlempar ke padang yang tandus, kering, panas dan
gersang. Doktrin ini mengingatkan manusia agar sadar terhadap persoalan
lingkungan dan berikhtiar melihara ekosistem alam.
Akan
tetapi, doktrin tersebut tidak diindahkan. Perusakan lingkungan tidak pernah
berhenti. Eksplorasi alam tidak terukur dan makin merajalela. Dampaknya,
ekosistem alam menjadi limbung. Ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Alam
akan menjadi ancaman kehidupan yang serius. Ia senantiasa siap mengamuk
sewaktu-waktu.
Dan Islam
sebagai agama paripurna, memiliki kebenaran universal dan absolut -karena
berasal dari zat yang maha absolut (Allah; Rabb al-Jalil), sejak 14 abad lalu
telah memiliki perhatian khusus terhadap persoalan lingkungan, lewat warning
(memberi peringatan) akibat kerusakan lingkungan, antara lain dinyatakan dalam
Alquran, surat Ar-Ruum: 41. Dalam ayat itu dikatakan, kerusakan lingkungan
akibat ulah tangan manusia yang fasid (destroyer/perusak akan ditimpakan kepada
manusia itu sendiri (baik mereka yang merusak maupun yang tidak terlibat)
supaya mereka kembali ke jalan yang benar (la‘allahum yarji‘un).
Sayangnya
manusia tidak pernah jera dan mau mengambil pelajaran di balik bencana alam
yang terjadi. Mereka bebal dan buta tuli terhadap tanda-tanda yang dihadirkan
oleh alam sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap prilaku manusia yang rakus
dan pongah dalam mengesploitasi alam. Sepertinya syair Ebiet G.Ade “mungkin
alam sudah enggan bersahabat dengan kita” semakin menunjukkan kebenaran
faktualnya. Bahkan bukan lagi sekedar ’mungkin‘ tapi sudah benar-benar benci
dan marah terhadap prilaku dekonstruktif manusia terhadap alam sekitarnya.
Buktinya hampir tiap hari bencana alam akrab mengancam hidup manusia.
Ancamam
pemanasan global menjadi salah satu akibat keras kepalanya manusia. Padahal
pemanasan global ini telah menjadi isu internasional, namun penghancuran
lingkungan khususnya di Indonesia terus terjadi. Perambahan hutan dan perusakan
ekosistem pesisir terus berlanjut, sementara reboisasi (penghijauan) yang dilakukan
berjalan sangat lambat, bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada.
Hanya
butuh waktu kurang dari satu jam untuk menebang kayu-kayu besar di rimba, tapi
butuh ratusan tahun untuk membesarkan kayu-kayu itu kembali. Demikian juga
dalam hal pelestarian hutan. Hutan dapat dihanguskan dan dirusak dalam hitungan
jam, baik dengan satu biji korek api atau pembalakan liar yang dilakukan dengan
menggunakan teknologi modern dan lain-lain, tapi butuh waktu puluhan, bahkan
ratusan tahun untuk mengembalikannya ke kondisi semula.
Fiqih
lingkungan (Fiqh al-Bi’ah) Sebuah Keharusan
Mari
kita tilik sejenak setidaknya ada dua ajaran dasar yang harus diperhatikan umat
Islam. Dua ajaran dasar itu merupakan dua kutub di mana manusia hidup. Yang
pertama, rabbul’alamin. Islam mengajar bahwa Allah SWT itu adalah Tuhan semesta
alam. Jadi bukan Tuhan manusia atau sekelompok manusia, bukan itu. Dari awal
manusia yang bersedia mendengarkan ajaran Islam sudah dibuka wawasannya begitu
luas bahwa Allah SWT adalah Tuhan semesta alam. Orang Islam tidak boleh
berpikiran picik, Allah SWT bukan saja Tuhan kelompok mereka, Tuhan manusia,
melainkan Tuhan seluruh alam. Jadi Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan semua
alam. Dan alam di hadapan Tuhan, sama. Semuanya dilayani oleh Allah, dilayani
oleh Allah sama dengan manusia. Itu dasar pertama.
Kutub
yang kedua, rahmatan lil’alamin. Artinya manusia diberikan sebagai amanat untuk
mewujudkan segala perilakunya dalam rangka kasih sayang terhadap seluruh alam.
Kalau manusia bertindak dalam semua tindakannya berdasarkan kasih sayangnya
kepada seluruh alam, tidak saja sesama manusia, namun juga kepada seluruh alam.
Masalah
lingkungan adalah berbicara tentang kelangsungan hidup (manusia dan alam).
Melestarikan lingkungan sama halnya dengan menjamin kelangsungan hidup manusia
dan segala yang ada di alam dan sekitarnya. Sebaliknya, merusak lingkungan
hidup, apapun bentuknya, merupakan ancaman serius bagi kelangsungan hidup alam
dan segala isinya, tidak terkecuali manusia.
Fiqh
Islam pun tumpul. Fiqh belum mampu menjadi jembatan yang mengantarkan norma
Islam kepada perilaku umat yang sadar lingkungan. Sampai saat ini, masih jarang
Fiqh yang secara komprehensif dan tematik berbicara tentang persoalan
lingkungan. Salah satu kiai kita yang pernah merumuskan akan hal itu, ialah Prof. KH. Ali Yafie, mantan
Ketua Majelis Ulama Indonesia dalam buku beliau “Merintis Fiqh Lingkungan” sedangkan Fiqh-fiqh
klasik yang ditulis oleh para imam mazhab hanya berbicara persoalan ibadah,
mu’amalah, jinayah, munakahat dan lain sebagainya. Sementara, persoalan
lingkungan (ekologi) tidak mendapat tempat yang proporsional dalam khazanah
Islam klasik.
Fiqh
dalam konteks lingkungan adalah hasil bacaan dan pemahaman manusia terhadap
dalil naqli, baik yang maktubah (tertulis) maupun yang kauniyyah (tidak
tertulis) yang tersebar di alam jagad raya. Jadi, Fiqh Lingkungan berarti
pemahaman manusia tentang lingkungan hidup melalui pendekatan-pendekatan teks-teks
suci dan tanda-tanda alam yang pada akhirnya akan melahirkan suatu konsep dan
sikap mareka terhadap alam semesta, khususnya menyangkut pelestariannya.
Karenanya pemahaman umat terhadap ajaran Islam perlu dikembangkan dan
diperdalam agar Islam bisa dilihat comprehensif.
Perlu
pemahaman yang cerdas dan arif, bahwa memasukkan isu-isu pelestarian lingkungan
dalam kurikulum pendidikan pesantren dan diniyah, materi khutbah, sebagai suatu
hal penting daripada membicarakan masalah ruknun min arkan al-Islam (rukun dari
rukun Islam yang lima itu). Karena menjaga lingkungan hidup dan alam semesta
ini adalah konsekuensi dari kepercayaan Tuhan kepada manusia yang telah Dia
angkat menjadi khalifah (pengganti-Nya) di muka bumi ini. Tanggungjawab ini
harus dipegang teguh oleh semua orang.
Terakhir,
perhatikan firman Tuhan berikut: “Barangsiapa membunuh seorang manusia dan
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan manusia, maka seakan-akan
dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya”.(Q.S. 5:32). Jika orang
yang melakukan pembunuhan dengan menggunakan senjata canggih disebut sebagai
teroris, maka mengapakah para perusak lingkungan tidak juga disebut teroris,
padahal hakikatnya mereka telah melakukan pembunuhan massal terhadap manusia?.
Beranikah para ulama kita mengeluarkan fatwa haram dan kalau perlu “halal
darahnya” bagi para perusak lingkungan? Waallahu a’lam (Dari berbagai sumber) tulisan ini peranh dimuat di ngokos.com
*Penulis
adalah, alumni Bata-Bata saat ini tengah menyelesaikan study S1-nya di
Universitas Hasyim Asya’ri dan Ma’had aly Hasyim Asy’ari
0 komentar:
Posting Komentar