Minggu, 22 Maret 2015

Hidupkan Tradisi Diskusi Mahasiswa!



“beberapa waktu yang  lalu, ada sebuah obrolan  ‘apik’ diwarung kopi bersama segenap teman-teman. Obrolan itu terkait bagaimana mengelola diskusi kita agar semakin membaik,  termasuk juga bagaimana merangsang kawan-kawan agar gemar berdiskusi. Karena sepertinya selama ini mahasantri belum merasa butuh dengan diskusi itu, dan diskusi yang digelar belum berjalan dengan maksimal, terkesan yang penting apa adanya, ”asal-asalan”. Memang selama ini kita kekurangan SDM untuk mengelola diskusi itu, mulai dari moderator,  pemateri dan lain-lain.”
Bagaimanapun juga kegiatan diskusi merupakan sebuah kebutuhan bagi setiap mahasiswa. Sudah menjadi kewajiban mahasiswa/wi untuk mengisi kegiatannya dikampus maupun diluar kampus untuk mengadakan berdiskusi. Matinya kegiatan diskusi dikalangan mahasiswa menjadi penanda buruk bagi civitas suatu kampus. Mengingat, kampus merupakan arena untuk melahirkan tokoh-tokoh intelektual. Membaca dan berdiskusi merupakan satu kesatuan yang tak bisa ditinggalkan. Apakah, cukup bagi mahasiswa dalam berproses menimba ilmu sekedar datang kekampus lalu pulang kembali?
Nah, inilah yang semestinya menjadi catatan bersama-sama. Bahwa, menghidupkan kegiatan ilmiah menjadi tugas bersama. Sepertinya menjadi suatu alasan yang tidak mendasar, jika kegiatan tradisi diskusi di kampus kebingungan mencari pemateri misalnya. Banyak dosen yang memiliki intregritas dan kepabilitas dalam suatu keilmuan. Tinggal, bagaimana mengkomunikasikannya. Sampai kapan hal demikian terus berlarut. Sangat disayangkan apabila kematian diskusi menjadikan sebuah kampus juga ikut mati suri.
Abdullah Badri dalam bukunya “Kritik Tanpa Solusi: 2012” memberikan kritikan sangat pedas kepada para mahasiswa/wi. Menurutnya, ada empat dosa besar mahasiswa yang harus ditaubati dalam bahasa peradaban. Pertama, tidak suka membaca. Mahasiswa akan kehilangan wajah peradaban (agent social of change), kalau membaca hanya ritus periodik yang terpaksa ditekuni kala mengerjakan tugas kuliah saja. Pandangan umum, mahasiswa adalah makhluk canggih yang paham segala apa dari siapa. Tapi karena membaca bukan tradisi baginya, ia tak ubahnya keledai yang membawa kertas-kertas bertumpuk ke manapun di pundaknya. Ia orang yang digadang sebagai pembaru, tapi awam sekali dengan gagasan pembaharuan, karena malas membaca.
Kedua, enggan berdiskusi. Mungkin saja seorang mahasiswa suka membaca. Mungkin pula dia tahu banyak hal yang dia baca. Namun, tanpa diskusi sebagai pelengkap wacana, apalagi dengan orang lain yang berseberang pemikiran, ia akan menjadi “kambing jantan” di kandang sendiri. Pemikirannya yang menumpuk, unek-uneknya yang seabrek, tak pernah terkena cuaca dan iklim luar. Pemikiran yang “dilemari eskan” akan membeku dalam pembenaran tanpa nalar, kekuasaan tanpa pelayanan. Maunya menang sendiri, karena diskusi dianggap mencemari pemikiran diri. 
Ketiga, malas bersosialisasi. Sombong banget mahasiswa yang berpuas pada dirinya saja. Hanya. Dia tidak mau bergaul dengan selain komunitasnya. Ekslusifitas yang dibiasakan membuat ia tak mengenal lingkungan, apalagi dunia luar yang acapkali berbeda dari bayangan imajinasinya. Saya ingat betul petuah guru: kalau kamu kuliah, perbanyaklah teman, belajar hanya formalitas yang tak boleh ditinggalkan. Tanpa koneksi, produk pendidikan perguruan tinggi hanya akan menjadi “sampah”. Jengah saya melihat kawan-kawan mahasiswa yang semasa hidup di kampus punya prestasi tinggi, tapi setelah lulus, masih mengiba dan mengemis dengan ijazahnya dan tak kunjung diterima. Karena ia dulu malas bersosialisasi. Tak mau berorganisasi, berkoneksi.
Keempat, malas menulis. Tradisi ini yang nempaknya belum menjadi gejala akademik yang memuaskan. Banyak mahasiswa kita yang pandai bersilat lidah, tapi meludahkan pemikirannya dalam bahasa tulis kepayahan. Cara berkelitnya banyak; tidak berbakat, tak ada waktu, hingga berkata dengan percaya diri: hanya orang-orang tertentu saja yang diberkati hidayah menulis. Walhasil, para mahasiswa budiman yang suka membaca tapi tak punya karya, ia menjadi intelektual oral jalanan, yang suka bicara (berkhotbah) di mana-mana, punya pengikut banyak, tapi hanya di kandangnya sendiri. Begitu berhadapan dengan orang lain di luar sana, ia seperti mahasiswa semester awal yang baru saja melepas seragam OSPEK. Awam.
Sungguh, kritikan diatas sangat tajam dan mampu menyayat kita sebagai mahasiswa. Hemat penulis, suka atau tidak suka, kegiatan diskusi harus dihidupkan kembali!   Ada beberapa hal dalam hal ini. Pertama, menentukan tema apa yang akan dibahas dalam diskusi  misalnya, berbincang-bincang menyelesaikan masalah sosial di lingkungan, membincangkan segala sesuatu yang menyangkut dengan dunia kita sehari-hari atau memperdalam penngetahuan yang ada dikampus. Kedua, mencari buku yang bisa dijadikan referensi untuk membuka pengetahuan. Buku apa saja yang penting disepakati oleh kawan-kawan. Semisal, buku  kiri islam, Sejarah Islam, wacan keIslaman, dll.
Ketiga, mencari fasilitator yang menguasai dibidangnya, agar diskusi itu berjalan dengan matang Sehingga,  peserta diskusi benar-benar mendapat pemahaman, karena termasuk salah satu faktor yang membuat teman-teman malas ikut diskusi disebabkan fasilitatornya kurang makimal, sehingga mahasantri merasa tidak mendapatkan apa-apa ketika selesai mengikuti diskusi.
Dengan memelihara kegiatan ilmiah seperti berdiskusi di kampus akan membantu membukakan mahasiswa dengan dunia buku, kritis, dan peka terhadap problem-problem kontemporer. Sudah saatnya, hal ini membukakan mata kita semua untuk tidak bersikap apatis. Dalam rangka menumbuhkan kesadaran dalam hal ini, penting mendorong segenap pihak jajaran dosen untuk bersama-sama peduli akan nasib diskusi. Bagaimanapun juga, kampus bukanlah tempat mengubur kegiatan ilmiah, namun mengembangkan dan menciptakan suasana yang menggairahkan khususnya dalam hal berdiskusi.( dimuat di buletin maha media, edisi 29)

Oleh, Muhammad Ali Ridho, Mahasiswa unhasy, jombang


0 komentar:

Posting Komentar