Kamis, 17 Desember 2015

Wisata Religi; komodifikasi Makam dan Agama?


Ziarah sebagai tradisi berkunjung ke makam orang yang meninggal, tempat keramat dan mulia sudah lama berlangsung dan terdapat tidak hanya dalam ajaran Islam. Bagi umat Islam berziarah kepada orang yang sudah meninggal sudah ada sejak periode kenabian Muhammad. Bahkan jika ziarah dimaknai sebagai mengunjungi tempat-tempat bersejarah, maka ka’bah adalah pusat ziarah sepanjang masa sejak ia dibangun pada masa nabi Ibrahim hingga kini.

Indonesia yang merupakan perlintasan sejarah kepercayaan dan agama-agama besar tak luput dari tradisi ziarah dengan berbagai ragamnya. Ziarah kepada para penyebar Islam yang disebut wali songo, wali, habaib dan para ulama sudah masyhur dan menjadi agenda hidup umat Islam. Tokoh atau magnet penarik ziarah juga terus bertambah sepanjang masa. Mereka memang secara tak langsung sudah menjadi magnet sejak hidup. Contoh yang fenomenal hingga hari ini adalah almarhum Gus Dur yang wafatnya telah memasuki tahun ke-enam. Makamnya tak pernah sepi dikunjungin para peziarah dalam suasana apapun, terlebih pada hari-hari libur.

Ziarah memainkan dua tataran penting; kunjungan ke makam-makam di satu pihak dan peran ziarah itu dalam kehidupan spiritual di lain pihak. Karena ziarah tidak hanya terfokus pada satu tempat, maka ada banyak aspek yang terkait. Aspek-aspek itu telah membentuk mata rantai yang diam-diam telah saling membutuhkan, misalnya dalam bentuk jasa-jasa barang; akomodasi, transportasi, konsumsi dll. Ziarah ke Tanah Suci, misalnya, memerlukan organizer, guide, pembimbing, pendoa, agar bisa menuntun ke jalan spritual yang lebih baik. Jika permintaan ziarah semakin tinggi, maka akan semakin banyak pula jasa-jasa itu dibutuhkan. Ritual agama ini pun meningkat tajam pada musim-musim tertentu. Menjelang Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri adalah contoh pergerakan massive para peziarah. Di luar itu ziarah mungkin bersifat personal dengan si mayyit, misalnya kunjungan-kunjungan menjelang hajat politik maupun berhubungan dengan haul atau ulang tahun kematian mereka yang wafat.

Islam memandang positif ziarah, sepanjang ziarah itu dilaksanakan dengan tidak merusak akidah Islam yang prinsip, misalnya berbuat syirik dengan meminta-minta kepada orang yang diziarahi. Meminta kepada yang sudah meninggal diperbolehkan, namun dengan makna tawassul, tentu ada cara khusus untuk  melakukannya, agar sesuai dengan syariat agama. Namun yang utama, apa yang dilakukan oleh para peziarah utamanya adalah mendoakan mereka yang di maqbarah itu. Nabi Saw. sendiri mempunyai tradisi berziarah ke makam Baqi' dan para sahabat yang gugur di bukit uhud. sebagaiamana disebutkana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim; "Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. berziarah ke kuburan syuhada' di uhud setiap akhir tahun, beliau bersabda: keselamatan atas kalian dengan kesabaranmu dan inilah sebaik-baik tempat terakhir.”

Jika kita tilik dari teks-teks yang ada Pada mulanya ziarah adalah mendoakan kepada yang meninggal dan bisa juga ber-tawassul kepada yang meninggal. Namun seiring berkembangnya masyarakat dan terjadinya perubahan-perubahan sosial pada masyarakat. Ziarah dan makam pun mengalami perubahan dan perluasan fungsi. Makam yang menjadi fokus atau pusat tujuan misalnya semakin banyak berubah dari lokasi hingga fungsi. Ziarah tak lagi menjadi tempat “curhat” dan mengingat kematian atau pengharapan bagi orang-orang yang tak terpenuhi keadilannya di dunia. Namun mereka juga berharap bahwa dengan ziarah mereka percaya bahwa hanya kematian lah saatnya nanti mereka menerima pembalasan yang adil dan abadi.
Salah satu wacana yang menarik tentang fenomena keagamaan kini adalah tentang komodifikasi agama. Komodifikasi bisa berarti komoditas. Komoditas adalah benda komersil yang menjadi obyek perdagangan. Jadi komodifikasi bisa bermakna komersialisasi Islam, atau mengubah keimanan dan simbol-simbolnya menjadi komoditas yang dapat diambil keuntungannya. Komodifikasi Islam menjadikan Islam sebagai komoditas di semua lini. Ziarah hanyalah salah satu aspek dan contoh. Puncaknya bisa kita lihat pada bulan Ramadhan, bagaimana pasar dan agama dengan simbol-simbolnya dikomersilkan.

Selain ziarah ke wali songo ziarah yang tak kalah fenomenalnya adalah ke makam presiden RI ke-4, Gus Dur. Kalau ada destinasi ziarah wali ke-10, maka Gus Dur, adalah tujuannya, demikian Ziarah dan makam dari ritual Agama Sampai Industri beberapa peziarah walisongo menyebutnya. Fenomena yang unik dan komplek yang berkumpul pada dirinya telah menjadikan makam Gus dur mempunyai nilai lebih dari pada pendahulunya. Di komplek makam keluarga itu berkumpul para kerabat dan pendahulu Gus Dur kakeknya KH.M. Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi Nahdlatul Ulama. Di situ pula ada KH.Wahid Hasyim, menteri agama yang mempunyai banyak terobosan di Departemen Agama RI dalam waktu singkat dan juga sebagai salah satu tokoh penting dalam pendirian republik ini bersama ayahnya. Dialah ayah Gus Dur. Tentu disini ada banyak kyai dan orang alim, para pendiri dan asatidz pesantren Tebuireng dan kerabat Gus Dur yang lain.

Makam Gus Dur yang diyakini oleh sebagian masyarakat sebagai makam wali sungguh telah menimbulkan banyak efek positif dari fungsi awalnya sebagai tempat mendoakan almarhum. Efek-efek positif itu misalnya; pertama, memberikan peluang usaha khususnya teruntuk masyarakat sekitar tebuireng. kedua,  uang infak yang ada di makam, menurut informasi yang saya dapatkan mencapai puluhan juta perbulan kalau sedang ramai. Karena itu, pesantren merasa perlu untuk mengelolanya. Sehingga dibentuk LSPT (Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng). Dari situ mereka membagikan uang kepada fakir miskin dan anak yatim. Laporan penggunaannya diterbitkan dalam bulletin LSPT dan website resminya (www.lspt.or.id). Efek-Efek itu belum pada pedagang dadakan yang mungkin sekarang permanen seperti di makam-makam wali lain, seperti warung makam, cinderamata dll. Jadi inilah yang disebut bahwa orang yang sudah meninggal masih bisa “menyejahterakan” yang hidup.

Akhirnya, Keberagamaan dalam berbagai bentuknya telah melahirkan simbo-simbol yang menandai perilaku penganutnya. Simbol itu difungsikan sesuai dengan masa dan waktu yang terus mengalami pergeseran. Generasi sekarang, menjalankan agamanya dengan cara yang tidak sama dengan zaman orang tua mereka. Ini semua tentu karena disebabkan berbagai perubahan sosial yang terjadi, bisa meningkatkan kualitas bisa juga sebaliknya. Komodifikasi agama dalam berbagai bentuk termasuk ziarah adalah salah satu bentuk yang dinilai mengurangi mutu nilai ibadah itu meski disisi lain memberi sejumlah kemudahan dan nilai syiar. Urusan kematian bukan saja soal kafan dan menggali kubur, tapi adalah juga bagaimana yang hidup melihat peluang-peluang yang ada dan bisa dimanfaatkan dalam menghormati yang sudah meninggal itu. Dengan kata lain yang wafat pun bisa diajak bekerjasama.Wallahu a’lam[]

Refrensi:Fattah, Munawwir Abdul,Tradisi Orang-Orang NU, Yogyakarta: LKiS, 2006Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014WikipediaAbdallah Kamel, Omar,Kalimatun Hadi’ah Fit Tawassul, Kalimatun Hadi’ah fi Ahkamil Qubur, Kalimatun Hadi’ah fiz Ziarah wa Syaddir Rihal. Tradisi Tawassul, terj.,Jakarta: PP.Lakpesdam NU,2008Ahmad, Akbar S. Ke Arah Antropologi Islam. terj.,Jakarta: DDII, 1994Chambert-Loir, Henri & Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam (terj.) , Jakarta, Serambi, 1995Dan berbagai sumber lainnya.

Kamis, 15 Oktober 2015

Lima Perkara Penghalang Menjadi Sholeh


KH. Nur Hannan, Lc, M.Hi*

الْحَمْدُ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ أَرْسَلَ إِلَيْنَا أَفْضَلَ الرُّسُلِ وَأَنْزَلَ عَلَيْنَا أَفْضَلَ الكُتُبِ وجَعَلَنَا لَنَا خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ وَأَمَرَنَا بِالإِجْتِمَاعِ عَلى الحَق وَالهُدَى وَنَهَانَا عَنْ الإِفْتِرَاقِ وَاتِّبَاعِ الهَوَى، أَحْمَدُهُ تَعَالَى وَأَشْكُرُهُ عَلَى نِعَمِهِ الَّتِي لاَ تُحْصَى، وَأَشْهَدُ أَن لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ لَهُ الْأَسْمَاءُ الحُسْنَى وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، تَرَكَ أُمَّتَهُ عَلَى الْمَحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ لاَ خَيْرَ إِلاَّ دَلَّهَا عَلَيْهِ وَلاَ شَرَّ إِلاَّ حَذَّرَهَا مِنْهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ آمَنُوْا بِهِ وَعَزَرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوْا النُّوْرَ الَّذِيْ أُنْزِلَ مَعَهُ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:

Jamaah Jum'at Rahimakullah
Dalam kesempatan yang sangat baik ini, kami mengajak terhadap diri  saya sendiri dan umumnya terhadap jamaah agar kita tidak bosan-bosannya senantiasa berusaha meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Swt. Hal itu tercapai dengan cara menjalankan perintah-perintahNya dan berusaha menjauhi LaranganNya. Karena dengan takwa inilah kita bisa meraih kesuksesan di dunia maupun di akhirat.

Ma’asirol Muslimin Rahimakumullah
Ada beberapa cara untuk meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah diantaranya yang pertama, dengan mensyukuri nikmat iman, karena nikmat ini merupakan nikmat yang paling besar yang Allah anugrahkan terhadap hambaNya dan nikmat iman ini merupakan tiket kita untuk berjumpa Allah Swt di akhirat nanti.
Selanjutnya, cara meningkatkan ketakwaan kepada Allah yang kedua ialah dengan cara meningkatkan kualitas keimanan kita kepadaNya. Yaitu dengan menjalankan semua amal kebaikan yang mana merupakan perintah Allah Swt dan menjauhi amal keburukan yang mana merupakan laranganNya. Karena, iman dan amal sholeh ini ibarat dua mata sisi uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
Dalam artian iman akan bernilai jika dibarengi dengan amal sholeh dan begitu juga amal sholeh bisa berharga jika didasari dengan keimanan.  Jika kita kaji dalam Al-Qur’an maka akan banyak kita temukan firman Allah yang menyebutkan kedua istilah iman dan amal sholeh selalu bergandengan. Diantaranya firman Allah dalam surat Al-Baqarah  ayat 25 sebagaimana berikut:

Artinya: dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada Kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.

Dalam ayat diatas orang disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya yaitu orang yang beriman dalam beramal sholeh. Jadi kedua istilah itu saling melengkapi satu sama lainnya.  Dan Masih banyak ayat lainnya yang menjelaskan tentang pentingya iman dan amal sholeh.

Ma’asirol Muslimin Rahimakumullah
Tentunya kita semua berharap diri dan orang-orang dilingkungan kita, tak hanya beriman melainkan juga beramal sholeh. Tetapi,  tidak semua yang kita harapkan sesuai dengan kenyataan. Disini mari kita merenungkan kembali apa yang telah disampaikan Sayyidina Ali karramallahu wajhahu dalam suatu riwayat disebutkan bahwa beliau berkata:
لَوْلَا خَمْسَ خِصَالٍ لَصَارَ النَّاسُ كُلُّهُمْ صَّالِحِيْنَ, الْقَنَاعَةُ بِاالْجَهْلِ,وَ الْحِرْصُ عَلَى الْدُنْيَا وَالْشُحُّ بِالفَضْلِ وَألّرِياءُ فِيْ الْعَمَلِ وَالْاعجاَبُ بِالرَأْيِ
Perkataan Sayyidina Ali diatas dapat diartikan,  ada lima perkara  yang menghalangi manusia menjadi sholeh ke lima hal itu yaitu: Pertama, Al-Qonaatu biljahli,  merasa senang  dengan kebodohan, orang yang tidak menyadiri dirinya bodoh (merasa pintar) maka dia tidak akan menjadi orang sholeh.
Oleh karena itu, marilah kita senantiasa terus menuntut ilmu, karena dengan ilmu bisa mengerti keluasaan Allah Swt., dengan mengetahui keagungan Allah maka diharapkan keimanan  dan ketaatan kita terus bertambah kualitasnya. inilah yang disebutkan oleh Allah dalam firmannya:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Artinya: Sesungguhnya hanya orang yang mempunyai ilmu (ulama’) yang takut kepada Allah.

Jika dalam diri kita belum ada rasa khauf kepadaNya  kemudian kita  merasa diri kita berilmu maka hal tersebut menjadi penghalang kita untuk bertakwa kepadaNya.

Ma’asirol Muslimin Rahimakumullah
Kedua dan ketiga, al-Hirsu ‘ala ad-Dhunyya wal syuhhu bil- fadli, rakus terhadap dunia dan bahil terhadap anugerah yang Allah berikan. Manusia jika sudah dihinggapi rasa rakus terhadap dunia dalam dirinya maka dia tidak akan perduli cara yang ia digunakan untuk mendapatkan dunia, apakah sudah sesuai dengan tuntunan agama atau tidak? bagi dirinya yang penting bagaimana mendapatkan harta dunia sebanyak-banyaknya.

Ma’asirol muslimin rahimakumullah
Keempat, wariya'u fil ‘amal, didalam setiap amal kebaikannya tidak didasari rasa ikhlas karena Allah, melainkan beramal hanya ingin dipandang oleh manusia.

kelima, wal i'jabu birro'yi, membanggakan dirinya sendirinya dan mengangap orang lain lebih rendah darinya.
Kelima perkara Inilah yang disampaikan oleh Sayyidina Ali yang dapat menghambat seseorang menjadi orang yang sholeh. Mudah-mudahan kita senantiasa dijaga dari kelima hal diatas sehingga kita tetap semangat beramal sholeh kepadanNya. Amin ya rabbal a’lamin.

باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ والذِّكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ


Jumat, 29 Mei 2015

MAJALAH TEBUIRENG

EDISI 27

Edisi 30


EDISI 36

EDISI 37

EDISI  31
edisi 38

EDISI 23

EDISI 21

EDISI 21

Selasa, 21 April 2015

5 Prinsip Nilai Dasar Pesantren Tebuireng*


Dunia pendidikan kita  masih menjadi sorotan publik, pendidikan yang diharapkan belum mampu menopang ketidakberdayaan masyarakat agar tegak, tumbuh dan berkembang menjadi masyarakat terdepan dan sejahtera belum terwujud. Lebih tragsinya lagi, krisis moralitas terjadi dikalangan generasi muda. Para lulusan bangku sekolah dan perkuliahan pun banyak yang menjadi koruptor, tawuran antar pelajar, subsidi jawaban ketika UN, dan lainya. Tentunya ada persoalan serius di dunia pendidikan kita. Sesungguhya, hal demikian membutuhkan solusi yang tepat sasaran.
Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua yang ada di negara kita. Eksistensinya tidak diragukan, telah teruji oleh sejarah hingga era kini masih terus bertahan ditengah kompetisi yang sangat ketat. Bahkan bukanlah hal yang berlebihan bila dikatakan bahwa pesantren telah menjadi satu wujud dari entitas budaya Indonesia. Yang dengan sendirinya menjalani proses sosialisasi yang relatif insentif. Indikasinya adalah wujud entitas budaya ini telah diakui dan diterima kehadirannya.
Hadratussyaikh KH. M Hasyim Asy’ari, melalui pesantren Tebuireng mewariskan ajaran yang sangat berharga bagi para santri-santrinya. Setidaknya terdapat lima nilai inti yang disarikan dari beberapa buku karya pendiri NU itu. yang  lima nilai dasar itu benar-benar ditekankan oleh  Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid semenjak beliau menjadi pengasuh Pesantren Tebuireng Pertama, ikhlas. Merupakan rangkaian enam huruf yang sering dan mudah kita ucapkan. Namun dalam aplikasinya, ternyata perkara ini tidak mudah untuk kita lakukan. Bahkan mungkin diri kita pun tidak bisa mengukur seberapa besar kadar keikhlasan kita dalam mengerjakan sesuatu. Ikhlas berarti bersih. Suci dari segala niat buruk di dalam hati. Ikhlas berarti hanya mengharap ridho Allah semata. Tanpa pamer, riya’, atau mengharap pujian dari siapapun. Baginya, apa yang dia lakukan adalah untuk mempersembahkan yang terbaik bagi Allah. hal inilah yang menjadi pokok pertama yang ditekanankan di pondok pesantren Tebuireng.
 Kedua, jujur. kejujuran merupakan kartu kredit yang sangat dapat diandalkan, walaupun hendak membeli barang apapun tidak akan menimbulkan kecurigaan orang lain. Jujur di dalam pergaulan masyarakat ibarat adalah sebuah tali pengikat. Orang yang jujur, walaupun berada di tempat manapun, pada waktu apapun, akan dengan tulus hati menghadapi segala masalah, tidak ada penyesalan, tidak ada rasa takut, dapat hidup dengan tenang, rileks dan aman. Di tebuireng  pembelajaran  kejujuran dimulai dari tidak diperbolehkannya menyontek bagi siswa yang mengikuti ujian, diberlakukannya kantin jujur dan kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, kerja keras. Berarti berusaha dan berjuang  dengan sungguh-sungguh dan gigih untuk mencapai suatu cita-cita. Bekerja keras mengeluarkan tenaga secara fisik dan berpikir sungguh-sungguh untuk meraih prestasi, kemudian disertai dengan berserah diri kepada Allah. Keempat, tanggung jawab. Merupakan prilaku yang harus dikerjakan oleh setiap santri dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa tanggung jawab maka kehidupan kita akan kacau.  Misalnya, santri tidak menjalankan kewajibannya sebagai santri di Pesantren, tentu akan semau sendiri. Tugas utama seorang santri, yakni bertanggung jawab untuk belajar dengan sungguh-sungguh di pesantren. Pentingnya tanggung jawab disini agar tidak mengalami kegagalan dan kerugian baik untuk dirinya sendiri atau bagi orang lain disekitarnya. karena dengannya kita akan mendapatkan hak kita dengan seutuhnya serta akan memiliki simpati yang besar yang aman dengan sendirinya derajat dan kualitasnya akan naik dimata orang lain. Kelima, Tasamuh. bersikap lapang hati, peduli, toleran, anti kekerasan, menghargai perbedaan, dan menghargai hak orang lain. kelima poin itulah yang diterapkan oleh Pesantren tebuireng untuk mendidik dan membekali santri-santrinya.
Penanaman lima nilai-nilai dasar pesantren Tebuireng dalam aktifitas sehari-hari membantu menyiapkan generasi masa depan yang memiliki karakter kuat. Dalam hal ini para santri mendapat bimbingan dan keteladan langsung oleh para pembinanya. Selanjutnya apa yang dilakukan di pesantren tidak hanya menekankan pentingnya pengaplikasian nilai-nilai itu saja. melainkan, memberikan contoh langsung dalam kehidupan sehari-hari di Pesantren. Prinsip nilai dasar yang diwariskan oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari ini, penting untuk dijadikan landasan dalam menjalani kehidupan di pesantren Tebuireng. Wallahu a'lam bisssawab
*Sumber Majalah Tebuireng edisi 35 (2014)
Oleh, Muhammad Ali Ridho, Mahasiswa Mahad Aly Tebuireng Jombang
Rubrik Suara Mahasiswa: Memberikan ruang spesial bagi teman-teman Mahasiswa/wi.
Silahkan, kirimkan karya Anda sekitar 800-900 kata ke  meja redaksi Majalah Tebuireng(majalahtebuireng@yahoo.co.id). Salam karya!


Minggu, 05 April 2015

Esensi zakat kita*



Setiap Ibadah dalam Agama kita mempunyai Stressing yang berbeda, ada Ibadah yang di sebut Ibadah Qolbiyah (hati), sekalipun anggota badan tidak banyak ikut berperan,  hal itu dinilai Ibadah. Kita bisa saja duduk santai di kantor, menghadapi tamu tapi di hati kita terbisik Lafadz Allah, itu namanya Ibadah hati, kita bisa saja berdiri di depan pantai, menikmati luasnya pantai terhampar membiru, hati kita berucap “ bukan main indahnya laut ini, kalau laut aja begini hebat, bagaimana lagi yang menciptkanan ? ” wisata yang seperti ini berpahala, karena kita tidak mengagumi laut, tetapi mengagumi yang menciptkan, ini di sebut Wisata Rohani, Ibadah Qolbiyah, Dzikir Khofy.
Adapula Ibadah Qolbiyah-Badaniyah, selain hati, anggota badan juga ikut berperan,  adapun harta tidak terlalu berperan, seperti Puasa Ramadhan,  asal hati punya keinginan dan mau mengerjakan, Ibadah itu bisa terlaksana, Sholat walaupun ada unsure Harta namun tak seberapa, unsur yang paling dominan adalah hati dan badan.
Adapula Ibadah itu di sebut Qolbiyah-Badaniyah dan Amaliyah. hati, badan dan harta. Semua komponen ini sama-sama berperan.Seperti Ibadah Haji misalnya, hati berniat, badan melaksanakan, harta di keluarkan baru terlaksana.Hati kepingin betul pergi Haji, badan sehat, namun uang tidak punya ,selamat melamun. Uang banyak, badan sehat, namun hati kurang semangat, liburan akhir tahunya pergi ke New York, London, Paris, korea dan semacamnya. Tetapi ke Makkah belum pernah sampai.
Kali ini, kita akan membahas Ibadah yang justru di tekankan adalah kepada Harta, disebut Ibadah Maliyah. Memang harta yang di minta dikeluarkan dalam melaksanakan ibadah itu, yaitu Zakat, Infaq dan Shadaqoh. Kesenjangan yang alami adalah Sunnatullah. Qur’an menjelaskan hal itu, kami lebihkan kamu dari yang lain. Ada yang Kaya ada yang Miskin, ada yang Alim dan ada pula yang awam.
Namun kenapa kesenjangan kita permasalahkan,? Karena kesenjangan yang terjadi adalah kesenjangan Struktural. Kita menyadari bahwa pemerataan bukan menciptakan Standar Ekonomi dengan standar ala Komunisme. Yang kita harapkan pemerataan terciptanya peluang dan kesempatan. Artinya jikalau  yang kaya semakin kaya, kenapa yang Miskin tidak bisa ikut Kaya, atau paling tidak naik sedikitlah. Untuk itu Islam memberi anjuran didalam harta kita, walaupun kita sudah berusaha dengan susah payah untuk mendapatkan harta itu, namun ada haq orang lain yang harus kita keluarkan dalam bentuk zakat.
Zakat berfungsi sebagai pembersih harta jika Zakat Mal, sebagai pembersih jiwa jika Zakat Fitrah, pembersih harta jika Zakat Zuru’, dan pembersih barang tambang jika Zakat Ma’adin  dan seterusnya. Sebagaimana sabda Nabi “ bersihkan harta kalian dengan mengeluarkan zakat”. Tentunya dalam harta yang kita cari,  bercampur dengan sedikit keharaman atau dengan perkara subhat itulah yang di bersihkan dengan zakat.
Namun ada yang menggunakan dalil ini secara salah, kita korupsi saja nanti kita bersihkan harta itu dengan zakat , sebagaimana sabda nabi “bersihkan harta kalian dengan mengeluarkan zakat” sudah kita zakatkan, bersih sudah. Itukan politik many londry, itu tidak di kenal. kalau mau kita analogikan begini “baju kita yang terkena najis bisa di sucikan, namun najis itu sendiri Atau baju yang terbuat dari barang najis  apakah bisa di sucikan ? tentu tidak, jadi tidak bisa menggunakan dalil tersebut dalam hal ini.
jika tidak kita laksanakan, tidak kita tunaikan maka Allah akan mencabut keberkahan dalam harta kita miliki, untuk  zakat memang ada haul ( ukuran waktunya), nishab (ukuran dari jumlah yang harus kita keluarkan) jadi terikat dengan haul dan nishab. Dalam Infaq tidak terkait dengan nisab, tetapi terikat dengan situasi kondisi. Biasanya jika objek kita sedang berhasil, rezeki lancar atau kedatangan rezeki yang tak di sangka-sangka. Dan pada Shadaqoh tidak terikat degan apapun, any time kita bisa melakukanya. Dan itu semua di sebut ibadah maliyah (harta).
Keberkahan terletak bagaimana kita mencari harta dan bagaimana kita membelanjakanya dengan benar. Keberkahan terletak pada orang yang menerima dan mendoakanya. kita seharusnya bersyukur ketika kita oleh allah dijadiakan fungsi sebagai kran air, yang menyimpan tetapi tidak untuk dirinya sendiri, tetapi untuk disalurkan kepada mereka yang memerlukan.dan sebagian dari pendidikan puasa adalah  tumbuhnya kepekaan sosial, kepekaan melahirkan keperdulian dan keperdulian dengan dibuktikan dengan zakat, infaq, paling tidak shadaqoh.
al-yadul a’la khairum min yadi as-sufla” tangan diatas lebih baik dari pada tangan dibawah, adigium ini munkin benar namun jika keduanya sama-sama ikhlas dalam menjalaninya maka hal itu bukan hal yang hina. Karena keduanya saling membutuhkan.
Kita sering mendengar kaidah lil wasail hukmul maqosid”, alat dan tujuan menduduki status hukum yang sama. Agama memerintahkan untuk kita Sholat, menutup aurat sebagai salah satu syarat dalam mengerjakan Sholat, maka secara tidak langsung kita diperintahkan harus punya Industry Tekstil , agar kita bisa menutupi aurat. di sisi lain kita di perintahkan menunaikan Zakat, inikan sebenarnya anjuran Islam agar kita memiliki ekonomi yang kuat, maju,  mapan dan mempunyai relasi agar bisa mengeluarkan Zakat itu. Dan Kita juga diperintahkan untuk untuk menunaikan Haji, maka secara langsung kita di perintah agar mengusai teknologi, bisa membuat pesawat, karena kita tidak munkin berenang dari Indonesia ke Mekkah.
Kita harus sukses, kaya,  memiliki Ekonomi yang mapan agar kita bisa menjadi pelaksana Zakat bukan hanya sebagai penerimanya, kalaupun hari ini kita berdiri pada barisan yang menerima zakat, namun kita kita tanamkan dalam hati kita bahwa kedepan kita bisa kaya,ekonomi kita mapan agar kita bisa berpindah menjadi yang membayar zakat. Wallahu a’lam bisshawab.
^oleh  muhammad ali ridho Maha Santri Ma’had Aly  Asal Berau kal_tim.
*Artikel ini pernah dimuat di Majalah Tebuireng edisi 30  






               

Pesantren dan Pendidikan Moral kawula Muda*

Kita sudah sering disuguhi berita di berbagai media, media cetak, televisi dan media online tentang perilaku amoral yang dilakukan oleh para remaja dan juga orang dewasa. Prilaku yang menyimpang dari Hukum Agama maupun Hukum Adat bahkan sudah tergolong kriminal, seperti narkotika (narkoba), minuman keras (termasuk oplosan), judi, free sex, tawuran dengan menggunakan senjata tajam dan berbagai macam kasus lainnya.
Membicarakan diri para remaja sungguh unik se unik membicarakan diri manusia itu. Para remaja yang mempunyai ego tinggi tentang eksistensi diri biasanya lebih suka bersikap anti konformitas (mukhalafah) agar cepat diperhatikan segala sesuatu yang sebenarnya ada pada dirinya. dalam hal ini remaja sering berulah-salah, sehingga cap negatif pada dirinya bertubi-tubi datang dan itu semakin melemparkan mereka jauh dari tatanan yang ada (misalnya kenakalan remaja). Sifat dasar manusia adalah enggan dimaki dan
dikutuk (meski makian itu sesuai dengan prilakunya) tidak terkecuali para pemuda. Karena itu, tulisan ini hanyalah sinopsis yang menawarkan pola pemikiran tentang sebuah problem yang ingin direspon dengan cara apa.
Dalam al-Qur’an tergambar betapa Tuhan sengaja mengekspresikan semangat para remaja dalam merespon problem yang mengitari dirinya. Suatu situasi yang timbul berlawanan dengan norma, akan menarik nalurinya bergerak mengatasi dengan cara apa saja yang dimiliki. Naluri itu secara psikologis ada pada diri setiap manusia dan cukup sensitif serta sangat berpotensi jika diberdayakan secara optimal. jiwa remaja itu oleh para ilmuwan dinilai masih lumayan obyektif karena belum banyak kepentingan. Namun tidak dipungkiri, bahwa watak dasarnya tetap agresif-emosional. Karena itu mereka tetap tidak bisa berjalan sendiri, harus dibimbing atau disatukan persepsinya. Maka wajar bila tuhan menyatukan jiwa pemuda goa (ashab al-kahf) agar terbentuk kumulasi (penyatuan) ide yang membulat (al-kahf :14).
Masa remaja adalah masa dimana manusia mengalami pertumbuhan bentuk badan (fisik) dan pola berpikir. Jika luput dari perhatian, sangat mungkin sekali perilakunya akan menyimpang, erkait “moral, cara berpikir dan bertindak”. Timbulnya perubahan yang cepat pada dirinya membutuhkan sesuatu agar mereka bisa menjaga diri dari pengaruh pergaulan yang negatif. beberapa paparan referensi tentang penyikapan terhadap problem para pemuda dapat dilihat pada paparan berikut ini :
Pertama, peran orang tua selalu menjadi faktor utama pembangunan karakter seorang anak. jika hubungan itu buruk, yang terjadi adalah tidak terkontrolnya jiwa dan akal si anak tersebut. Ketidakperdulian, ketidakharmonisan orang tua bisa membuat anak itu menjadi seperti anak ayam yang kehilangan induknya. dan kita tahu jika sudah menyangkut dengan masalah itu. Anak ayam tanpa induknya selalu menjadi mangsa yang empuk. begitu juga dengan seorang anak remaja jika kurang perhatian dan kasih sayang dari orang tua, anak remaja itu akan mencari dunia lain yang negatif. Hasilnya berani menyangkal orang tua, jarang pulang, berkumpul dengan teman-teman yang akhlaknya tidak karuan dan keganjilan-keganjilan dan yang lain.
Terkait pergaulan dalam islam sudah dijelaskan secara gamblang sebagaimana sabda Rosul Saw. “Perumpamaan teman bergaul yang buruk adalah seperti peniup api tukang besi, bisa jadi dia akan membakar pakaianmu, atau (minimal) kamu akan mencium darinya bau yang tidak sedap” mengenai pemahaman hadis ini terserah penafsiran setiap pembacanya, namun yang jelas pergaulan dengan lingkungan sekitarnya sangat mempengaruhi sikap dan cara berpikir para remaja. Masih labilnya cara berpikir mereka memaksa orang tua untuk terus memperhatikannya.
Kedua, banyaknya waktu luang pikiran bisa jumud, jika sama sekali kita membiarkannya menganggur, buntu dan membuat kita lemah sehingga jiwa juga lemah. akibatnya, khayalan dan bisikan-bisikan pemikiran buruk, melahirkan keinginan-keinginan buruk pula., sehingga waktu terbuang dengan sia-sia.
manusia selalu membutuhkan aktifitas, untuk menghindari kekosongan, dan membiasakan berpikir. untuk mengatasi hal ini, sebaiknya seorang remaja berusaha mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang cocok dan bermanfaat, seperti membaca, menulis, kursus bahasa, belajar, membantu kesibukan orang tua atau kegiatan lainnya, walaupun hanya aktifitas sepele. kata orang jawa “Sing penting obah, ora obah ora mamah” artinya, yang penting bergerak, (beraktifitas), tidak bergerak maka tidak menghasilkan sesuatu.
Ketiga, meluruskan persangkaan keliru para remaja terhadap ajaran agama. Persangkaan seringkali menimbulkan ketidakpahaman. Ada yang menganggap aturan-aturan agama hanya mengekang kebebasan dan mematikan potensi mereka. Benarkah? agama mengatur dan mengarahkan dengan baik kebebasan tersebut (lebih tepatnya hawa nafsu), agar tidak berbenturan dengan kebebasan orang lain.
Pesantren dan pendidikan moral
Sebagai institusi pendidikan tertua di Indonesia, Pesantren memiliki segudang nilai-nilai yang belum begitu dieksplorasi oleh kalangan internal pesantren sendiri. Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, kita telah melihat bagaimana kontribusi nyata Pesantren dalam melahirkan pemimpin yang berkarakter, kuat, militan, penuh integritas, gigih, visioner, pantang menyerah dan ikhlas dalam berjuang. Kontribusi tersebut tidak berhenti pada masa perjuangan bangsa, melainkan hingga dewasa ini, pimpinan institusi tertinggi negara banyak yang dipimpin oleh tokoh nasional dengan latar belakang pesantren.
Melihat pendidikan Pondok Pesantren Setidaknya ada berbagai macam keunggulan yang dimilikinya. Antara lain: pertama, menggunakan pendekatan holistis dalam sistem pendidikannya . Artinya para pengasuh pondok pesantren memandang bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan kesatupaduan atau lebur dalam totalitas kegiatan hidup sehari-hari. Bagi warga pondok pesantren, belajar di pondok pesantren tidak mengenal perhitungan waktu.
Kedua,memiliki kebebasan terpimpin. Setiap manusia memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu harus dibatasi, karena kebebasan memiliki potensi anarkisme. Kebebasan mengandung kecenderungan mematikan kreatifitas, karena pembatasan harus dibatasi. Inilah yang dimaksud dengan kebebasan yang terpimpin. Kebebasan terpimpin adalah watak ajaran Islam dan hal tersebut dapat dilihat dalam pola pendidikan di Pondok pesantren.
Ketiga, berkemampuan mengatur diri sendiri (mandiri). Di pondok pesantren, santri mengatur sendiri kehidupannya menurut batasan yang diajarkan agama. Para santri melakukan sendiri aktivitas keseharian mereka dengan independen. Mereka melakukan aktivitas keseharian secara mandiri.
Keempat, memiliki kebersamaan yang tinggi. Dalam pondok pesantren berlaku prinsip; dalam hal kewajiban harus menunaikan kewajiban lebih dahulu, sedangkan dalam hak, individu harus mendahulukan kepentingan orang lain melalui perbuatan tata tertib.
Kelima, Mengabdi kepada orang tua dan guru. Tujuan ini antara lain melalui pergerakan berbagai pranata (norma) di pondok pesantren seperti mencium tangan guru, dan tidak membantah guru beserta dengan keluarganya.
kesimpulan penulis, untuk itulah pesantren hadir di tangah-tengah kita, selain mencetak anak didik yang tafakkuh fiddin, berwawasan luas juga mencetak anak didik yang berakhlakul karimah. Sehingga lumrah dalam dunia pesantren dengan sebutan bahwa pesantren sebagai bengkel moral, karena memang tidak ada lembaga lain yang memang inten, mengayomi anak didiknya dalam perbaikkan moral, kecuali pesantren. Sungguh besar jasa pesantren bagi bangsa ini, makanya orang tua yang sadar dan mengerti tentang kemorosatan moral remaja saat ini, dengan mengantarkan putra-putrinya kedunia pesantren, yang tujuan utamanya adalah membina akhlakul karimah. wallahu a’lam.[]
*Pernah dimuat di tebuireng.org pada 24 Desember 2014

Minggu, 22 Maret 2015

Hidupkan Tradisi Diskusi Mahasiswa!



“beberapa waktu yang  lalu, ada sebuah obrolan  ‘apik’ diwarung kopi bersama segenap teman-teman. Obrolan itu terkait bagaimana mengelola diskusi kita agar semakin membaik,  termasuk juga bagaimana merangsang kawan-kawan agar gemar berdiskusi. Karena sepertinya selama ini mahasantri belum merasa butuh dengan diskusi itu, dan diskusi yang digelar belum berjalan dengan maksimal, terkesan yang penting apa adanya, ”asal-asalan”. Memang selama ini kita kekurangan SDM untuk mengelola diskusi itu, mulai dari moderator,  pemateri dan lain-lain.”
Bagaimanapun juga kegiatan diskusi merupakan sebuah kebutuhan bagi setiap mahasiswa. Sudah menjadi kewajiban mahasiswa/wi untuk mengisi kegiatannya dikampus maupun diluar kampus untuk mengadakan berdiskusi. Matinya kegiatan diskusi dikalangan mahasiswa menjadi penanda buruk bagi civitas suatu kampus. Mengingat, kampus merupakan arena untuk melahirkan tokoh-tokoh intelektual. Membaca dan berdiskusi merupakan satu kesatuan yang tak bisa ditinggalkan. Apakah, cukup bagi mahasiswa dalam berproses menimba ilmu sekedar datang kekampus lalu pulang kembali?
Nah, inilah yang semestinya menjadi catatan bersama-sama. Bahwa, menghidupkan kegiatan ilmiah menjadi tugas bersama. Sepertinya menjadi suatu alasan yang tidak mendasar, jika kegiatan tradisi diskusi di kampus kebingungan mencari pemateri misalnya. Banyak dosen yang memiliki intregritas dan kepabilitas dalam suatu keilmuan. Tinggal, bagaimana mengkomunikasikannya. Sampai kapan hal demikian terus berlarut. Sangat disayangkan apabila kematian diskusi menjadikan sebuah kampus juga ikut mati suri.
Abdullah Badri dalam bukunya “Kritik Tanpa Solusi: 2012” memberikan kritikan sangat pedas kepada para mahasiswa/wi. Menurutnya, ada empat dosa besar mahasiswa yang harus ditaubati dalam bahasa peradaban. Pertama, tidak suka membaca. Mahasiswa akan kehilangan wajah peradaban (agent social of change), kalau membaca hanya ritus periodik yang terpaksa ditekuni kala mengerjakan tugas kuliah saja. Pandangan umum, mahasiswa adalah makhluk canggih yang paham segala apa dari siapa. Tapi karena membaca bukan tradisi baginya, ia tak ubahnya keledai yang membawa kertas-kertas bertumpuk ke manapun di pundaknya. Ia orang yang digadang sebagai pembaru, tapi awam sekali dengan gagasan pembaharuan, karena malas membaca.
Kedua, enggan berdiskusi. Mungkin saja seorang mahasiswa suka membaca. Mungkin pula dia tahu banyak hal yang dia baca. Namun, tanpa diskusi sebagai pelengkap wacana, apalagi dengan orang lain yang berseberang pemikiran, ia akan menjadi “kambing jantan” di kandang sendiri. Pemikirannya yang menumpuk, unek-uneknya yang seabrek, tak pernah terkena cuaca dan iklim luar. Pemikiran yang “dilemari eskan” akan membeku dalam pembenaran tanpa nalar, kekuasaan tanpa pelayanan. Maunya menang sendiri, karena diskusi dianggap mencemari pemikiran diri. 
Ketiga, malas bersosialisasi. Sombong banget mahasiswa yang berpuas pada dirinya saja. Hanya. Dia tidak mau bergaul dengan selain komunitasnya. Ekslusifitas yang dibiasakan membuat ia tak mengenal lingkungan, apalagi dunia luar yang acapkali berbeda dari bayangan imajinasinya. Saya ingat betul petuah guru: kalau kamu kuliah, perbanyaklah teman, belajar hanya formalitas yang tak boleh ditinggalkan. Tanpa koneksi, produk pendidikan perguruan tinggi hanya akan menjadi “sampah”. Jengah saya melihat kawan-kawan mahasiswa yang semasa hidup di kampus punya prestasi tinggi, tapi setelah lulus, masih mengiba dan mengemis dengan ijazahnya dan tak kunjung diterima. Karena ia dulu malas bersosialisasi. Tak mau berorganisasi, berkoneksi.
Keempat, malas menulis. Tradisi ini yang nempaknya belum menjadi gejala akademik yang memuaskan. Banyak mahasiswa kita yang pandai bersilat lidah, tapi meludahkan pemikirannya dalam bahasa tulis kepayahan. Cara berkelitnya banyak; tidak berbakat, tak ada waktu, hingga berkata dengan percaya diri: hanya orang-orang tertentu saja yang diberkati hidayah menulis. Walhasil, para mahasiswa budiman yang suka membaca tapi tak punya karya, ia menjadi intelektual oral jalanan, yang suka bicara (berkhotbah) di mana-mana, punya pengikut banyak, tapi hanya di kandangnya sendiri. Begitu berhadapan dengan orang lain di luar sana, ia seperti mahasiswa semester awal yang baru saja melepas seragam OSPEK. Awam.
Sungguh, kritikan diatas sangat tajam dan mampu menyayat kita sebagai mahasiswa. Hemat penulis, suka atau tidak suka, kegiatan diskusi harus dihidupkan kembali!   Ada beberapa hal dalam hal ini. Pertama, menentukan tema apa yang akan dibahas dalam diskusi  misalnya, berbincang-bincang menyelesaikan masalah sosial di lingkungan, membincangkan segala sesuatu yang menyangkut dengan dunia kita sehari-hari atau memperdalam penngetahuan yang ada dikampus. Kedua, mencari buku yang bisa dijadikan referensi untuk membuka pengetahuan. Buku apa saja yang penting disepakati oleh kawan-kawan. Semisal, buku  kiri islam, Sejarah Islam, wacan keIslaman, dll.
Ketiga, mencari fasilitator yang menguasai dibidangnya, agar diskusi itu berjalan dengan matang Sehingga,  peserta diskusi benar-benar mendapat pemahaman, karena termasuk salah satu faktor yang membuat teman-teman malas ikut diskusi disebabkan fasilitatornya kurang makimal, sehingga mahasantri merasa tidak mendapatkan apa-apa ketika selesai mengikuti diskusi.
Dengan memelihara kegiatan ilmiah seperti berdiskusi di kampus akan membantu membukakan mahasiswa dengan dunia buku, kritis, dan peka terhadap problem-problem kontemporer. Sudah saatnya, hal ini membukakan mata kita semua untuk tidak bersikap apatis. Dalam rangka menumbuhkan kesadaran dalam hal ini, penting mendorong segenap pihak jajaran dosen untuk bersama-sama peduli akan nasib diskusi. Bagaimanapun juga, kampus bukanlah tempat mengubur kegiatan ilmiah, namun mengembangkan dan menciptakan suasana yang menggairahkan khususnya dalam hal berdiskusi.( dimuat di buletin maha media, edisi 29)

Oleh, Muhammad Ali Ridho, Mahasiswa unhasy, jombang