“beberapa waktu yang lalu, ada sebuah obrolan ‘apik’ diwarung kopi bersama segenap
teman-teman. Obrolan itu terkait bagaimana mengelola diskusi kita agar semakin membaik,
termasuk juga bagaimana merangsang
kawan-kawan agar gemar berdiskusi. Karena sepertinya selama ini mahasantri belum
merasa butuh dengan diskusi itu, dan diskusi yang digelar belum berjalan dengan
maksimal, terkesan yang penting apa adanya, ”asal-asalan”. Memang selama ini
kita kekurangan SDM untuk mengelola diskusi itu, mulai dari moderator, pemateri dan lain-lain.”
Bagaimanapun juga kegiatan
diskusi merupakan sebuah kebutuhan bagi setiap mahasiswa. Sudah menjadi
kewajiban mahasiswa/wi untuk mengisi kegiatannya dikampus maupun diluar kampus
untuk mengadakan berdiskusi. Matinya kegiatan diskusi dikalangan mahasiswa menjadi
penanda buruk bagi civitas suatu kampus. Mengingat, kampus merupakan arena
untuk melahirkan tokoh-tokoh intelektual. Membaca dan berdiskusi merupakan satu
kesatuan yang tak bisa ditinggalkan. Apakah, cukup bagi mahasiswa dalam
berproses menimba ilmu sekedar datang kekampus lalu pulang kembali?
Nah, inilah yang semestinya
menjadi catatan bersama-sama. Bahwa, menghidupkan kegiatan ilmiah menjadi tugas
bersama. Sepertinya menjadi suatu alasan yang tidak mendasar, jika kegiatan
tradisi diskusi di kampus kebingungan mencari pemateri misalnya. Banyak dosen
yang memiliki intregritas dan kepabilitas dalam suatu keilmuan. Tinggal,
bagaimana mengkomunikasikannya. Sampai kapan hal demikian terus berlarut. Sangat
disayangkan apabila kematian diskusi menjadikan sebuah kampus juga ikut mati
suri.
Abdullah Badri dalam bukunya “Kritik
Tanpa Solusi: 2012” memberikan kritikan sangat pedas kepada para
mahasiswa/wi. Menurutnya, ada empat dosa besar mahasiswa yang harus ditaubati
dalam bahasa peradaban. Pertama, tidak suka membaca. Mahasiswa akan kehilangan
wajah peradaban (agent social of change), kalau membaca hanya ritus
periodik yang terpaksa ditekuni kala mengerjakan tugas kuliah saja. Pandangan
umum, mahasiswa adalah makhluk canggih yang paham segala apa dari siapa. Tapi
karena membaca bukan tradisi baginya, ia tak ubahnya keledai yang membawa
kertas-kertas bertumpuk ke manapun di pundaknya. Ia orang yang digadang sebagai
pembaru, tapi awam sekali dengan gagasan pembaharuan, karena malas membaca.
Kedua, enggan berdiskusi. Mungkin
saja seorang mahasiswa suka membaca. Mungkin pula dia tahu banyak hal yang dia
baca. Namun, tanpa diskusi sebagai pelengkap wacana, apalagi dengan orang lain
yang berseberang pemikiran, ia akan menjadi “kambing jantan” di kandang
sendiri. Pemikirannya yang menumpuk, unek-uneknya yang seabrek, tak pernah
terkena cuaca dan iklim luar. Pemikiran yang “dilemari eskan” akan membeku
dalam pembenaran tanpa nalar, kekuasaan tanpa pelayanan. Maunya menang sendiri,
karena diskusi dianggap mencemari pemikiran diri.
Ketiga, malas bersosialisasi. Sombong
banget mahasiswa yang berpuas pada dirinya saja. Hanya. Dia tidak mau bergaul
dengan selain komunitasnya. Ekslusifitas yang dibiasakan membuat ia tak
mengenal lingkungan, apalagi dunia luar yang acapkali berbeda dari bayangan
imajinasinya. Saya ingat betul petuah guru: kalau kamu kuliah, perbanyaklah
teman, belajar hanya formalitas yang tak boleh ditinggalkan. Tanpa koneksi,
produk pendidikan perguruan tinggi hanya akan menjadi “sampah”. Jengah saya
melihat kawan-kawan mahasiswa yang semasa hidup di kampus punya prestasi
tinggi, tapi setelah lulus, masih mengiba dan mengemis dengan ijazahnya dan tak
kunjung diterima. Karena ia dulu malas bersosialisasi. Tak mau berorganisasi,
berkoneksi.
Keempat, malas menulis. Tradisi ini
yang nempaknya belum menjadi gejala akademik yang memuaskan. Banyak mahasiswa
kita yang pandai bersilat lidah, tapi meludahkan pemikirannya dalam bahasa
tulis kepayahan. Cara berkelitnya banyak; tidak berbakat, tak ada waktu, hingga
berkata dengan percaya diri: hanya orang-orang tertentu saja yang diberkati
hidayah menulis. Walhasil, para mahasiswa budiman yang suka membaca tapi tak
punya karya, ia menjadi intelektual oral jalanan, yang suka bicara (berkhotbah)
di mana-mana, punya pengikut banyak, tapi hanya di kandangnya sendiri. Begitu
berhadapan dengan orang lain di luar sana, ia seperti mahasiswa semester awal
yang baru saja melepas seragam OSPEK. Awam.
Sungguh, kritikan diatas sangat tajam
dan mampu menyayat kita sebagai mahasiswa. Hemat penulis, suka
atau tidak suka, kegiatan diskusi harus dihidupkan kembali! Ada beberapa hal dalam hal ini. Pertama,
menentukan tema apa yang akan dibahas dalam diskusi misalnya, berbincang-bincang menyelesaikan
masalah sosial di lingkungan, membincangkan segala sesuatu yang menyangkut
dengan dunia kita sehari-hari atau memperdalam penngetahuan yang ada dikampus. Kedua,
mencari buku yang bisa dijadikan referensi untuk membuka pengetahuan. Buku apa
saja yang penting disepakati oleh kawan-kawan. Semisal, buku kiri islam, Sejarah Islam, wacan keIslaman, dll.
Ketiga,
mencari fasilitator yang menguasai dibidangnya, agar diskusi itu berjalan
dengan matang Sehingga, peserta diskusi
benar-benar mendapat pemahaman, karena termasuk salah satu faktor yang membuat teman-teman
malas ikut diskusi disebabkan fasilitatornya kurang makimal, sehingga
mahasantri merasa tidak mendapatkan apa-apa ketika selesai mengikuti diskusi.
Dengan
memelihara kegiatan ilmiah seperti berdiskusi di kampus akan membantu
membukakan mahasiswa dengan dunia buku, kritis, dan peka terhadap
problem-problem kontemporer. Sudah saatnya, hal ini membukakan mata kita semua
untuk tidak bersikap apatis. Dalam rangka menumbuhkan kesadaran dalam hal ini,
penting mendorong segenap pihak jajaran dosen untuk bersama-sama peduli akan
nasib diskusi. Bagaimanapun juga, kampus bukanlah tempat mengubur kegiatan
ilmiah, namun mengembangkan dan menciptakan suasana yang menggairahkan
khususnya dalam hal berdiskusi.( dimuat di buletin maha media, edisi 29)
Oleh, Muhammad Ali Ridho, Mahasiswa
unhasy, jombang